Selasa, 22 Juli 2014

Jam Tangan

Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di Taher Square. Singkat kata, meski waktu itu cerah, tapi kami kekurangan personil pada saat berbuka puasa (padahal ga ada hubungannya yaa). Seharusnya waktu berbuka puasa, kami berjumlah 4 orang. Karena terjadi miskomunikasi tentang hari berbuka puasa, maka kami hanya berbuka puasa bertiga saja. Memang sih pada akhirnya berempat juga. Dan itupun harus menunggu kedatangan temanku itu hingga sekitar pukul 20:30 WITA, atau harus menunggu sekitar 2 jam setengah.

"akhirnya datang juga.."

".. sebagai gantinya, beliin kentang dong!"

Temanku yang terlambat datang itu, mengeluarkan uang dari dompetnya dan mengasih ke aku sebagai tanda "nih sana, beli pakai uangku". Aku ditemani temanku yang lain, ke meja pesan untuk memesan kentang. Tidak ada hal yang istimewa sebenarnya pada saat memesan itu, tapi pas duduk lagi ke tempat kami kongkow, ternyata ada pesan BBM yang masuk. Pesan dari kamu. Pesan yang menandakan bahwa kamu juga sedang berada satu tempat dengan kami. Pesan yang menandakan bahwa kamu melihat aku pada saat aku memesan kentang itu tadi.

Setelah sampai di rumah, baru kepikiran. Ada satu hal yang jadi bahan pemikiran, setidaknya bagi aku. Diwaktu aku memesan kentang itu, aku tidak memakai jam tangan. Padahal, aku membawa. Jadi ceritanya, karena jam tangannya mati, maka aku lepas. Sebenarnya, sebelum aku beranjak dari tempat duduk, tanganku masih menggegam jam tangan dan berencara membawa ke tempat pemesanan. Tapi, pas berdiri, malah melepas jam tangan dan kemudian menaruh ke meja kami.

Semacam tak mau menapakkan dirinya mati dihadapanmu.

Walau sebenarnya, aku yakin, kamu juga tidak bakalan memperhatikan aku memakai jam tangan atau tidak.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Itu cerita jumat kemarin. Dan itu hanya sebagian dari cerita yang berkaitan dengan jam tangan.

Satu cerita yang hingga sekarang, aku tak tahu alasannya, "kenapa harus jam tangan?". Seingatku, aku tak pernah mengatakan aku suka memakai jam tangan sejak sekolah dasar. Seingatku, aku tak pernah berharap kamu mengasih hadiah diwaktuku ulang tahun, terlebih lagi hadiahnya adalah jam tangan. Kepikiran kamu ingat ulang tahunku saja, tidak.

Pertanyaan "kenapa harus jam tangan?", tak harus dijawab. Pertanyaan "kenapa harus jam tangan?" adalah bentuk keheranan dariku. Dan pada akhirnya, keheranan itu menghasilkan pemikiran "aku harus menjaga jam tangan ini".

Hingga kini, sudah tiga kali mesin jam tangannya diganti. Terakhir, hari ini. Iya, siang tadi mesin jam tangannya diganti lagi. Ini adalah buntut dari kejadian jumat kemarin yang jarumnya tak bergerak.

Mesin jam tangan
Oh ya, aku pernah nge-tweet kaya ini:


Satu saja alasan mengapa secara khusus ada postingan seperti ini, karena pemberinya kamu.

 

Tuh, saking "pengen-tetap-menggunakan-jam-tangan-pemberian-kamu", sampai-sampai tali jam tangannya dijahit karena sudah terkelupas.

Jumat, 04 Juli 2014

[MAKALAH] Analisa Penerapan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa


PENDAHULUAN
            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan oleh segenap masyarakat desa tak terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan menjadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani guna mengesahkan UU tersebut.
            Adapun tujuan dari disahkannya UU Desa ini antara lain:
  1. 1memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
  2.    memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 
  3.  melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;
  4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
  5. membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6.  meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8.  memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan 
  9. memperkuatmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Sedangkan asas pengaturan dalam UU Desa ini adalah:
  1. rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul; 
  2. subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa;
  3. keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 
  4. kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa;
  5. kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun desa; 
  6.  kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa;
  7. musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
  8. demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa diakui, ditata, dan dijamin;
  9. kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan kepala desa di seluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita,  daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat,  beranggapan bahwa UU Desa akan melemahkan eksistensi nagari di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
            Terlepas dari penolakan dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum mengatur materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, UU ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
Salah satu poin yang paling krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait alokasi anggaran untuk desa.  Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa.  Selain itu, poin-poin lain yang disepakati adalah terkait masa jabatan kepala desa. Kemudian diatur juga terkait kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa. Baik kepala desa, maupun perangkat desa mendapat penghasilan tetap setiap bulan dan mendapat jaminan kesehatan.
Di sisi lain, UU Desa juga mengandung kekurangan. Kekurangan pertama, adanya perbedaan pengertian desa adat menurut UU Desa dengan pengertian desa adat menurut masyarakat desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana alokasi kepada setiap desa per tahun yang dapat saja disalahgunakan. Kemudian, tidak menjelaskan secara khusus tentang penempatan perempuan minimal 3o persen pada perangkat desa. Selain itu, tingkat kesiapan tata kelola yang masih rendah dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa, juga dapat menghambat tujuan-tujuan yang hendak dicapai setelah pengesahan UU Desa.
Maka dari itu, makalah ini akan menganalisa kelebihan dan kekurangan dari UU Desa dan juga dalam hal kesiapan tata kelola serta SDM yang ada di desa.

ANALISA
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang, tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan setelah disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan, sudah diterangkan secara singkat kelebihan dan kekurangan yang ada di UU Desa. Pada bab analisa ini, penulis akan menganalisa kelebihan dan kekurangan tersebut.

Kelebihan
Pada UU Desa ini, terdapat poin yang memang sudah dicanangkan sekitar 7 tahun lamanya. Yaitu, adanya aturan yang membahas terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang keuangan desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi.
Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan mampu menyejahterakan masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara maksimal. Jika mampu mengelola dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil jika masyarakat desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan mungkin saja dapat bersaing dengan masyarakat desa lainnya atau bahkan masyarakat global secara umumnya.
Pada perangkat desa seperti kepala desa juga tidak luput dari pembahasan dalam UU Desa. kepala desa  menurut UU Desa pasal 26 ayat 1, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pada pasal yang sama di ayat 3 huruf c, dijelaskan bahwa kepala desa menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. Selain itu, segala hal yang berhubungan dengan kepala desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga masa jabatan seorang kepala desa, juga tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat desa lainnya, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga diberikan penjelasan-penjelasan terhadap seperti apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh BPD.
Secara umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu memberikan hak-hak pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat menyejahterakan masyarakatnya sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa. Adanya UU ini juga menjadi dasar hukum yang sangat berarti bagi setiap desa, karena UU ini bisa dijadikan sebagai dasar pijakan dalam menjalankan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, kelebihan UU Desa yang paling terlihat adalah telah adanya dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia.

Kekurangan
Di balik kelebihan, tentu terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa. Ada berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU Desa. Tidak hanya dalam segi isi, namun juga dalam hal penerapannya.
Dari segi isi, terdapat kekurangan terutama dalam pengertian desa adat. Sebelum terbitnya UU ini, setiap wilayah memiliki pengertian desa adat yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam sprit takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat. Maka dari itu, harus ada penyeragaman pengertian arti desa adat, agar tidak ada gelojak dikemudian hari.
Masih dalam segi isi UU Desa, dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
Dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan diselewengkan oleh perangkat desa yang tidak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah tugas BPD dan pemerintah daerah setempat, yang dilakuan secara berkala terhadap setiap desa agar pembangunan desa lebih tepat sasaran. Masalah lainnya juga akan ditimbul, yaitu adanya perbedaan-perbedaan keadaan atau kondisi desa yang ada di Indonesia. Ada desa yang memang sudah mandiri dan sudah mampu menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai cara sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, ada pula desa yang tertinggal dan masih belum belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika nantinya akan dikucurkan dana alokasi tersebut, dikhawatirkan akan mubazir bagi desa maju dan akan tetap merasa kekurangan bagi desa tertinggal. Sekali lagi, peran pengawasan sangat diharapkan mampu mengawasi penggunaan dana alokasi tersebut agar dana alokasi tersebut tepat sasaran sesuai kebutuhan dan keperluan masing-masing desa.
Masa jabatan kepala desa juga mungkin saja akan menjadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 periode, boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan pada setiap kepala desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat mengiurkan bagi setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat menduduki jabatan sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala desa yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada di desanya. Dengan menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan mampu menepatkan orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya, terlebih pada posisi kepala desa. Tingkatan kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi, secara tidak langsung, juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan orang baik dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada tingkat kepala desa, pastilah akan berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, jika salah memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan menimbulkan permasalahan baru yang mungkin lebih besar lagi.
Masih berkaitan dengan pentingnya masyarakat desa memahami demokrasi, maka masyarakat desa mau tidak mau harus memiliki pemahaman berdemokrasi itu sendiri. Salah satu caranya adalah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan benar, akan menghasilkan masyarakat desa yang melek berdemokrasi dan juga dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda ada pada setiap desa. Peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga harus mampu turun tangan dalam meningkatkan SDM masyarakat desa ini. Mengenai SDM, juga berkaitan erat dengan tata kelola yang akan dikerjakan oleh perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu desa, juga akan berdampak baik terhadap tata kelola pemerintahan desanya.
Lalu, pada penempatan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus menjelaskan tentang keberadaan perempuan minimal 30 persen di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, karena jangan sampai perempuan-perempuan di desa hanya akan dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di perangkat desa, diharapkan dapat menyalurkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di desa tersebut.
Dari sekian kelebihan dan kekurangan yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memberikan pengakuan terhadap setiap desa yang ada di Indonesia sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini juga memberikan keleluasaan pada setiap desa untuk mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa.
UU Desa akan berfungsi baik jika semua pihak saling mendukung dan saling membantu dalam menjalankan amanah UU tersebut. Jika semua pihak mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang diamanahkan, maka bukan tidak mungkin pembangunan di desa akan semakin baik dan dapat menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri serta membantu pembangunan nasional secara keseluruhan.

PENUTUP
Kesimpulan
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang , tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan setelah disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun kelebihan UU Desa yang paling terlihat adalah pemanfaatan UU Desa sebagai dasar pijakan dan dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia. Sedangkan, kekurangan UU Desa terletak pada pengertian desa adat yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja akan menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.
Saran
Saran dari penulisan ini adalah harus adanya pengawasan yang intens dan berkala untuk bisa mengawal UU Desa ini dalam menjalankan amanah-amanahnya. Terutama, dalam pengawasan penggunaan dana alokasi terhadap setiap desa per tahunnya yang rawan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Pengawasan ini sendiri, bisa dari Badan Permusyawaran Desa (BPD) setempat, pemerintah daerah setempat dan juga bisa dari masyarakat desa itu sendiri. Dengan adanya pengawasan dalam penggunaan dana alokasi tersebut, diharapkan penggunaan dana alokasi dapat tepat sasaran dan dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.