Kamis, 31 Desember 2015

Tahun 2015, Tahun yang Luar Biasanya Luar Biasa

364 hari sudah dilalui. Banyak sekali cerita. Dan cerita-cerita itu tak akan bisa diulang kembali. Hanya bisa diceritakan. Lalu, ketawa. Kemudian, sedih. Tetapi, juga bersyukur.

Alhamdulliah..

Sama sekali tak diduga, catatan-catatan di tahun 2015 ditulis dengan tulisan indah. Bahkan, sebagian besar ditulis dengan tinta emas.

Enam bulan pertama, hampir setiap hari dihabiskan waktu di depan komputer untuk bercengkrama dengan file skripsi. Sesekali juga bercengkrama dengan manusia. Termasuk dengan manusia yang di tahun 2010 pernah mengisi catatan selama 9 bulan. Eh atau bahkan sampai sekarang? Haha. Sudah tidak. Catatan dengan manusia itu sudah perlahan terhapus disaat memasuki enam bulan kedua.

Enam bulan pertama merupakan bulan perjuangan menghadapi skripsi. Dan, enam bulan kedua adalah bulan pejuangan setelah menghadapi skripsi. Yaitu, "selesai kuliah, lalu apa?" pertanyaan setiap orang yang baru diwisuda. Pertanyaan yang harus dijawab. Bukan cuma dengan lisan tapi juga dengan teori dan praktek yang harus balance.

Rasa syukur yang tak terhingga. Unlimited.

"Selesai kuliah, lalu apa?" tak perlu waktu lama untuk dijawab. Setelah mendapatkan ijazah tamat kuliah, langsung melamar pekerjaan. Dan, sekali lagi, rasa syukur yang tak terhingga, fotocopy ijazah berlegalisir hanya terpakai dua lembar saja.

Pertama, untuk suatu perusahaan kelapa sawit. Alasan kenapa jadi ke situ, karena dalam pengumuman lowongan pekerjaannya dikatakan bahwa "seluruh jurusan dan fresh graduate diperbolehkan mendaftar". Di situ, saya sampai ditahap wawancara awal.

Fotocopy ijazah berlegalisir yang kedua terbang ke Balikpapan untuk memenuhi persyaratan administrasi rekrutmen pegawai tetap di suatu perusahaan BUMN. Kurang lebih sama, alasannya karena "semua jurusan". Tentu, alasan lain yang paling menyemangati adalah ingin bekerja.

Sampai di sini, saya bingung cara menceritakannya.

Semuanya dilancarkan.

Saya dan mungkin sebagian besar orang yang mengenal saya, tak akan menyangka saya sampai di titik sekarang. Kalau orang lain tak menyangka, apalagi saya.

Di hari ke 365 ini, saya sedang berada di lingkungan kerja yang saya lamar di bulan juli lalu. Lamaran itu yang membawa saya ke tempat yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sekarang berada di dunia baru. Di lingkungan baru. Dengan teman baru. Teman yang sekarang bukan cuma teman yang tinggal satu kota saja. Tapi hampir semua pulau besar di negara ini, mempunyai kenalan yang diperkenalkan oleh catatan yang ditulis dengan tinta emas.

Huh.

Telah habis kalimat yang dapat mendeskripsikan mengenai tahun ini, selain...

Luar biasa. 2015 tahun yang luar biasanya luar biasa.

Dan, terakhir, harus saya katakan kembali, rasa syukur yang tak terhingga untuk tahun ini.

Tahun 2016? Bismilah!

Senin, 14 Desember 2015

Tinta Emas

Cerita dimulai dari tanggal 8 Agustus 2015. Hari itu, saya ikut Tes Potensi Akademik dengan 300 orang lebih lainnya. Dengan soal yang cukup banyak, waktu yang diberikan untuk menjawab soal cukup singkat dan pesaing yang cukup memenuhi GOR Hasanudin, saya tidak berharap lebih untuk bisa lolos di TPA itu.

Jam 10 malam, masih menunggu pengumuman di website. Belum diupload ternyata. Jam 11 juga masih belum. Kemudian tertidur. Jam 3 pagi kebangun. Buka websitenya lagi. Ternyata sudah diupload. Dan ternyata ada nama saya. Dan jam 8 pagi mesti ke Hotel Rodhita buat ikut tes selanjutnya, psikotes. Dan paragraf ini banyak kata hubung dan.

Sama halnya dengan TPA, psikotes juga tidak percaya diri bisa lolos. Sesaat setelah menjawab soal, "kok tadi jawabnya gitu?!". Lalu, sesaat setelah wawancara, " kok tadi ngejawabnya gitu sih?! ". Dua pertanyaan itu yang pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa, "oke, kalau ga lulus, ga papa deh, yang penting pernah ikut tes gini, kan lumayan baru lulus sudah pernah ikut tes kaya gini".

18 Agustus diumumkan pengumaman tes  yang diceritakan di paragraf sebelum ini. Iya, iya, ini disingkat. Kalau menceritakan dari tanggal 9 sampai 17 ngapain aja, nanti bosan, nanti mau udahan bacanya, dan ga selesai membacanya. Hmm, padahal kalau ga selesai juga ga papa sih, yang penting udah masuk blog ini aja sudah sebuah keisengan yang cerdas. Entahlah, apa arti dari " keisingan yang cerdas ". Jadi intinya, nama saya kembali ada di pengumuman. Heran? Tentu. Syukur? Lebih dari tentu.

Saya dapat jadwal wawancara di tanggal 23 Agustus. Sama halnya dengan psikotes yang memperoleh jadwal wawancara di urutan terakhir, di tes wawancara juga. Bedanya, kalau di psikotes, emang benar terakhir, di wawancara, terakhir dari 3 peserta. Sebagai orang yang mendapatkan jadwal yang mendekati akhir, tentu menjadi kepikiran ketika obrolan orang-orang yang sudah diwawancara, tentang ini lah, tentang itu lah, tentang ini itu lah. Di sini, kembali, membuat saya tidak yakin. Tapi ketidakyakinan saya ini, lahir sebelum diwawancara. Setelah diwawancara, saya merasa yakin bisa lolos tes ini. Berbeda dengan tes-tes sebelum ini. Kenapa? Karena pertanyaan yang diajukan berbeda dengan obrolan orang-orang yang sudah diwawancara sebelum saya. Ya begitulah.

Eh, benaran lolos tes wawancara. Nyangka? Lumayan. Heran? Ga juga. Yakin lolos di tes selanjutnya? Harus! Tes selanjutnya tes kesehatan. "Masa sih saya ga sehat, kayanya selama ini ga pernah mengalami sakit yang parah banget, ga pernah masuk rumah sakit, masa ga lolos sih?!", pikir saya, waktu itu. Sebuah pemikiran yang berujung untuk menjaga kesehatan sampai tes kesehatan dilaksanakan. Sebuah pemikiran yang juga berujung pada keyakinan untuk bisa lolos tes ini. Karena, tes kesehatan merupakan tes terakhir sebelum diklat. Bisa lolos di tes kesehatan maka dapat mengikuti diklat dan diklat merupakan gerbang menuju karyawan tetap.

15 September, pengumuman diupload. Dan benar adanya. Ada lagi nama saya di situ. Entah, yang ngetik pdf itu salah ngetik atau emang suka ngetik nama saya atau emang takdir, beda tipis. Yang jelas, tahapan kehidupan dimulai dari sini. Kalau yang TPA merupakan cerita awal, lolos di tes kesehatan merupakan awal dari kehidupan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Tak pernah membayangkan, seorang mahasiswa FISIP yang skripsinya membahas larangan merokok di rumah sakit, dan baru banget lulus, diberi kesempatan bekerja di tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan FISIP, larangan merokok, dan kelulusan yang baru banget.
21-23 September, diklat induksi. Kemudian dilanjutkan dengan On The Job Training di tanggal 28 September sampai 13 Oktober. Pada paragraf ini, yang perlu saya ceritakan adalah "seperti ini yaa dunia kerja itu". Silakan tertawa karena saya belum pernah bekerja sebelumnya. Memang benar adanya. Ini kehidupan yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Sama seperti, dengan orang-orang yang belum pernah pacaran dan kemudian mendapat kekasih. Pasti kikuk, awalnya. Malu-malu. Belum berpengalaman. Tapi pengen punya pengalaman.

Tentang diklat induksi dan OJT-nya udahan ya. Masih panjang soalnya cerita-cerita yang harus diceritakan di postingan ini.

15 Oktober, berangkat ke Surabaya. Ngapain? Bukan jalan-jalan. Bukan. Tapi masih berkaitan dengan tahapan menjadi karyawan tetap. Ke Surabaya buat mengikuti pembinaan mental dan fisik di tempat pencetak marinir Indonesia. Yoi, marinir. Yang tentara angkatan laut itu. Yang satu-satunya tempat cuma di Surabaya. Yang banyak dianggap tempat yang kejam. Yang judul lagunya Wali.

15 Oktober hingga 24 Oktober merupakan hari-hari yang mau dibilang berat ya memang berat, tapi di sisi lain tentu ada sisi yang menyenangkan. Pasti selalu ada sisi-sisi yang berseberangan. Namanya juga sisi. Setiap sisi mempunyai sisi lainnya. Jadi, balok mempunyai berapa sisi?

Tak perlu diceritakan apa yang dilakukan tempat pelatihan marinir itu. Cukup dibayangkan saja. Karena diceritakan secara detail pun, pasti juga membayangkan juga. Jadi lebih baik dibayangkan saja tanpa harus diceritakan. Gitu.

Kemudian, setelah melewati masa ditempa di Gunung Sari, kami semua yang kemudian di tempa di tempat diklat. Oh ya, belum dibilang ya berapa orang yang ikut pembinaan mental dan fisik ini. Hampir 400 orang. Dari segala penjuru. Dari barat hingga timur. Dari yang melayunya kental dan manis hingga mendoknya bahasa orang-orang timur. Lengkap pokoknya. Selengkap-lengkapnya lengkap.

Ada 4 tempat diklat yang disediakan. Surabaya, Malang, Solo, dan Padang. Dan saya bersama 42 orang lain ditempatkan di Malang. Kota yang dikenal sebagai kota yang sejuk itu, merupakan kota yang membuat saya untuk membuat postingan ini. Yaaaaa, tentu, awal cerita tetap berada di paragraf pertama tadi. Tapi Kota Malang lah yang "menyuruh" saya untuk malam ini menulis tentang ini di hp.
43 orang bersatu di satu kota yang sama. Tidak mengenal sebelumnya. Hmm, yang dari satu kota yang sama, mungkin sudah mengenal sebelumnya. Tapi apakah sudah mengenal secara mendalam? Kayanya belum tentu. Yang pacaran berpuluh-puluh tahun aja, belum tentu sudah mengenal secara mendalam. Dan alasan klasik pun diungkapkan, "tidak nikah-nikah karena belum mengenal secara mendalam (calon) pasangan hidupnya". Btw, ini bahas apa sih?

Dari berbagai daerah berada di tempat yang sama. Dan di sinilah kata orang-orang " Indonesia luas banget " itu benar sekali. Dengan segala kelebihan dan kekurangan negara ini, Bhinika Tunggal Ika memang bukan sekedar tulisan wajib di atas papan tulis di sekolah-sekolah. Tapi pengamalan yang lebih utama. Dan pengamalan itu akan lebih mudah dilaksanakan jika kita dapat bertemu, berteman, dan bersahabat dengan orang-orang dari belahan daerah lain. Bersyukurlah kalian yang mempunyai uang lebih dapat dipergunakan untuk keliling Indonesia. Dan, berbahagialah kalian yang tanpa harus punya uang lebih tapi dipertemukan dengan berbagai jenis manusia Indonesia.

Yaitu, kita. Kita yang berada di Kota Malang hampir 2 bulan. Modal kita bukan uang. Modal kita keyakinan. Murah tapi tidak semua orang memiliki. Termasuk saya, pada awalnya. Yang membaca postingan ini secara urut, pasti mengetahui kapan saya mulai yakin. Bobotnya 20% jika dapat menjawab.

Saat saya menulis ini, waktu menunjukan pukul 00.03 WITA. Dan masih teringat jelas apa yang dilakukan hari-hari kemarin. Hari-hari di Kota Malang. Senam yang ga cocok dikatakan senam, makan pagi yang terlalu pagi untuk makan nasi goreng, berangkat dengan mobil yang selalu menghindari duduk di tengah, coffe break yang ternyata juga menyuguhkan milo, makan siang yang selalu menjadi primadona nomor satu setelah survive menahan rasa ngantuk, survive setelah makan siang adalah survive tingkatan selanjutnya, bel pulang yang merupakan bel paling ditunggu setelah bel makan siang, menunggu jemputan sambil bercengkrama, makan malam yang selalu berusaha untuk dihabiskan, pendapatan alfamart dan indomaret seketika meningkat dalam 2 bulan gara-gara kita, dan sebagainya-sebagainya. Banyak. Terlalu banyak.

Tak sanggup lagi mengetik di hp ini. Bukan sedih mengingatnya, tapi cape tau! Sudah hampir 2 jam, mengetik ini aja. Beberapa jam lagi OJT tahap dua.

Huh..

Senang sekali bisa bertemu dan bersahabat dengan kalian. Dengan segala kelakuan yang absurd, kelucuan yang garing, tingkah laku yang tak tertebak, kalimat-kalimat yang diciptakan secara spontan, tingkat normal batas maksimal, dan sungguh munafik jika 43 orang itu tidak mengakui memiliki keinginan untuk mengulang kebersamaan yang terjadi kemarin dalam bentuk apapun. Termasuk saya.

Kebersamaan kemarin harus terulang lagi, dengan menggunakan tinta yang lebih emas daripada 24 karat dan cerita-cerita yang akan terjadi nanti, lebih layak dimuseumkan daripada berlian flawless.

Bismilah, yakin!

Dari siswa Pegadaian yang (terlihat) pendiam tapi ternyata punya blog.

Muhammad Syarwani.