Sabtu, 30 Desember 2017

Rugi?

Setiap orang pasti pernah ketemu di satu titik, yaitu bingung. Bingung, mau maju atau mundur. Tidak ada petunjuk jalan. Tidak jelas.

Kalau mundur, akan terasa tanggung karena sudah sejauh ini perjalanannya. Sekeliling kita pun memberikan isyarat akan merugi jika mundur. Walaupun sebenarnya, itu hanya isyarat, bukan petunjuk yang sebenarnya.

Kalau maju, harus siap dengan segala risiko yang ada di depan.

Mundur pun, sebenarnya juga ada risikonya.

Sama-sama punya risiko.

Ini tidak seharusnya dibingungkan, karena ini masalah masa depan. Masa depan ada di depan, bukan di belakang. Mestinya yang diambil adalah langkah maju.

Tapi, tetap aja ragu-ragu.

Maju tapi ternyata tidak ada apa-apa, apakah itu akan disebut rugi?

Rabu, 27 Desember 2017

Ini Tentang Kesamaan dan Kebersamaan

Apakah untuk bersama harus memiliki kesamaan?

Perjalanan 4 hari yang baru saja dilalui, semoga bisa menjawab.

Dari empat orang yang berbeda-beda. Bahkan satu orang diantara itu ada yang belum pernah kenal dengan yang lain, untuk bertemu pun belum pernah. Dipertemukan hanya karena ada kesamaan. Sama-sama menginginkan liburan.

Apakah harus sesimple itu untuk bersama?

Kalau saya yang jawab, harus sesimple itu.

Karena memiliki kesamaan, maka bisa bersama.

Bahkan seharusnya, mungkin, tidak ada tuh istilahnya "perbedaan bisa membuat kita menyatu".

Padahal Indonesia ada karena banyak perbedaan?

Kenapa tidak dibalik saja, Indonesia ada karena banyaknya persamaan?

Persamaan untuk saling mendukung membuat negara. Persamaan untuk membangun negara. Persamaan untuk membuat negara ini lebih baik lagi.

Kayanya terlalu luas bahasan soal Indonesia.

Bagaimana dengan hubungan antar lawan jenis?

Haha, malah bahas ini.

Pembahasan yang mungkin tidak akan muncul jika tidak melakukan liburan bersama ini.

Liburan bersama ini bisa dikatakan liburan dengan persiapan yang terbatas.

Kepikiran melakukan liburan bersama sebulan sebelum keberangkatan. Kepastikan berangkat atau tidaknya, seminggu setelahnya. Kemudian selama tiga minggu berikutnya yang dibahas tentang akomodasi dan semacamnya, di tengah kesibukan masing-masing. Saking sibuknya, ada satu orang yang tidak pernah kumpul bareng buat membahas perjalanan ini, hanya selalu menerima kesimpulan via group whatsapp. Pas hari keberangkatan, barulah ketemu secara utuh, berempat.

Liburan bisa begitu, kenapa hubungan tidak bisa?

Modalnya, sama-sama ingin liburan. Cukup itu dan bisa terlaksana. Ya, dalam perjalanannya, memang pastilah ada kendala-kendalanya. Wajar ada dan harus ada untuk membuat perjalanan liburan lebih menarik ketika diceritakan kembali.

Mestinya, cukup sama-sama ingin bersama, maka akan terjadi kebersamaan. Apakah nantinya akan ada kendala-kendala? Pasti. Dan harus dilalui karena kembali lagi ke main pointnya, ingin bersama.

Untuk bersama, jelaslah ada yang dikorbankan. Seperti liburan ini. Yang paling terlihat, tentang materi. Tidak murah, liburan disaat peak season seperti libur natalan. Tapi apa yang dilakukan? Ya dikorbankan saja, karena keinginan untuk liburan lebih besar lagi.

Ada perlunya untuk direnungkan kembali, harusnya lebih mementingkan perbedaan yang jelas selalu dipunyai setiap orang atau mementingkan persamaan yang walaupun itu sangat kecil?

Menyatukan empat orang yang memiliki perbedaan karakter masing-masing, bisa disatukan karena hanya karena satu persamaan, sama-sama ingin liburan.

Sesulit itukah, menyatukan dua orang yang memiliki perbedaan pendapat tetapi sebenarnya, mungkin, kedua orang itu mempunyai keinginan untuk bersama?

Sabtu, 16 Desember 2017

Dari Awal Lagi

Sudah sebulan lebih 16 hari berada di Kota Cantik, Palangka Raya. Terlalu basi kalau dikatakan "tak terasa, hampir 2 tahun di Gunung Mas". Itu basi. Tapi, memang hampir 2 tahun di sana. Dan memang sudah basi.

Disisi lain, harus diakui, selama di Kurun, rasa sebagai orang perantauan terasa sekali. Anak tunggal ini sebelumnya tidak pernah jauh dari orang tuanya. Paling banter, sebulan pas KKN. Itu pun masih berjarak 2 jam dari rumah. Sedangkan ini benar-benar terasa. Terasa jauh. Terasa merantau. Terasa sendirian di kota orang.

Itulah garis tangannya. Di fase kehidupan ini harus dilalui dengan merantau dari rumah. Tidak ada pengalaman. Buta terhadap segalanya yang ada di depan. Namun, hijrah untuk sebagian orang, memang dan harus dilakukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan itu yang saya alami 2 tahun ke belakang ini. Tidak ada yang dikenal sama sekali orang-orang di Kurun, awalnya. Tidak tahu bagaimana keadaan kotanya. Terlebih lagi, tidak mampu membayangkan, apakah saya masih bisa hidup di sana. Anak tunggal ini terbiasa di kota besar dengan segala kemudahannya.

Eh, ternyata masih bisa hidup, kok.

Setelah dilalui, baru bisa mengenal orang-orang di Kurun. Tahu seluk beluk kehidupan kota di atas gunung itu. Dan, saya masih hdup saja dengan keterbatasan selama di sana.

Kalau ada yang bilang "bisa karena terbiasa" itu ada benarnya. Saya yang menjalani. Merantau yang awalnya adalah momok, kemudian perlahan sedikit bisa teratasi. Setidaknya, selama di sana, ada yang mau menemani. Meskipun, hanya melalui media sosial. Hanya bisa ketemu ketika pulang. Rasa homesick itu bisa berkurang karena ada dia.

Kini garis tangannya menunjukkan saya harus dimutasi ke Palangka. Tugas di Gunung Mas dianggap sudah selesai. Kini ada tugas lain. Sama sekali berbeda. Ritme tugasnya berubah. Harus penyesuaian lagi. Dari awal lagi.

Senang ke Palangka? jelas.

Sebelumnya, memang saya merasa sudah cukup tugas saya di Gunung Mas. Saya merasa sudah bosan dengan ritme pekerjaan di sana.

Dan, terkabul.

Ke Palangka, berubah sama sekali yang dikerjakan. Dan itu secara logika, mestinya bisa mengubah rasa bosan tadi menjadi lebih rajin.

Tidak mudah, ternyata.

Sama seperti pertama kali ke Gunung Mas, tidak mudah. Dan kini harus dilakukan lagi.

Semua dari awal lagi. Menyesuaikan lagi dengan ritme pekerjaan, menyesuaikan lagi dengan partner pekerjaan, menyesuaikan lagi dengan nasabahnya, dan menyesuaikan lagi dengan keadaan yang tidak ada pengurang rasa homesick seperti di atas gunung kemarin.