Selasa, 28 Maret 2017

Kalah dengan 94?

Teman seangkatan sudah banyak yang melangkah ke tahapan kehidupan selanjutnya. Teman seangkatan kelahiran 90an, teman seangkatan sekolah, teman seangkatan kuliah, hingga teman seangkatan kerjaan.

Nikah.

Satu tahapan yang harus dilalui. Iya, harus. Lalu, kapan? Dengan siapa?

Jodoh adalah misteri. Layaknya kelahiran dan kematian. Tidak bisa ditebak, tidak bisa diterka. Tapi harus dilalui. Harus dijalani. Harus membuka misterinya.

Maka, sudah waktunya buat kelahiran 93 untuk membuka misteri jodohnya. Masa kalah dengan yang kelahiran 94 yang sudah nikah?

Minggu, 12 Maret 2017

Terbatas

Sejam yang lalu, baru selesai pulang dari kopi topi di Palangka Raya. Berkumpul dengan teman seangkatan dalam pekerjaan. Saya, terutama. Karena sudah lama tidak berkumpul dengan mereka.

Awalnya, random pembahasannya. Hingga akhirnya, fokus ke satu pembahasan. Tentang jodoh. Salah satu teman mengatakan, "yang diperlukan dalam sebuah hubungan, tidak cuma cinta tapi juga logika".

Di forum satu jam yang lalu tadi, ada dua lelaki dan tiga perempuan. Dua perempuan di antaranya, curhat tentang jodoh. Satu lelaki sebagai penjawab, satu lelaki lainnya sebagai pendengar, dan itu saya. Pada saat perbincangan itu saya tidak lalu memberikan pendapat karena memang secara pribadi, dalam hal seperti ini, saya sulit langsung dapat berpendapat. Sekarang karena agak susah tidur, dan mungkin juga karena memikirkan hal-hal yang dibahas dalam forum tadi, jadinya pengen posting tentang ini.

Tertarik mengenai "logika". Manusia diberi oleh pemilik semesta ini sebuah akal agar bisa berpikir. Kita sebutlah itu "logika kita".  Logika kita hadir karena kita diberi akal. Kita semua bisa berpendapat karena kita semua bisa berpikir. Urutannya, bisa berpikir, muncullah pendapat, selanjutnya adalah logika yang muncul dari itu semua.

Ketakutan-ketakutan segala hal yang terjadi di depan muncul karena logika kita berpendapat demikian. Takut terkena tilang dari polisi karena menurut logika kita apabila kita tidak memakai helm di perjalanan maka akan kena tilang. Logikanya. Wajar. Dan memang dalam peraturan kepolisian yang berlaku di sini, apabila tidak memakai helm di perjalanan akan ditilang.

Tapi tentang cinta, tidak sesederhana itu.

Kalau dibilang "..harus ada logika", saya pikir, tidak harus. Dalam hal hubungan antar individu, terlebih itu mengenai hubungan untuk dalam masa depan, itu tidak bisa dengan logika. Sesuatu hal yang akan terjadi di depan, tidak bisa dengan logika kita.

Kecuali memang ada "peraturan yang sudah dibuat oleh pemilik semesta".

Ada?

Ada.

Sebelum manusia membuat peraturan untuk dirinya sendiri dan manusia lain, pemilik semesta juga pasti sudah membuat peraturan untuk mereka yang hidup di semesta-Nya.
Meyakini akan ditilang karena tidak memakai helm, sebab peraturannya ada.
Meyakini di masa depan akan terjadi kejadian yang kita takuti di detik ini, tidak ada sebabnya.

Tidak perlu jauh, satu detik yang akan datang saja tidak akan tahu apa yang terjadi.
Manusia bisa meramal apakah besok terjadi hujan atau tidak. Dan bukan manusia yang menyebabkan hujan atau tidak.

Karena, manusia bisa berpikir, bisa berpendapat, bisa memunculkan logika, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Ini sebenarnya bukan postingan untuk pembicaraan satu jam yang lalu, tapi untuk saya pribadi. Bagaimana seharusnya menyikapi dalam permasalahan ini.

Apa yang kita bisa lakukan, terbatas.