Sabtu, 29 Februari 2020

Tahun Kabisat, 4 Tahun Sekali yang Selamanya

Sabtu dinihari, memasuki tanggal 29 februari 2020.

Tanggal yang hanya terjadi empat tahun sekali. Sebelum mengetik ini, sempat membaca sejarahnya, walau pada akhirnya, halaman itu cuma tercatat di riwayat web yang pernah dikunjungi di browser bawaan handphone ini. Tidak terekam dengan baik dalam ingatan. Yang terekam baik tentang tanggal ini, hanyalah Dea Imut ulang tahun. Selamat ulang tahun!

"ngapain yang?"

"enggak.."

"tumben belum tidur"

"tadi siang ke janji Jiwa, minum kopi pandan, dan jadi enggak ngantuk"

Dari layar handphone, ada obrolan terjadi. Seperti biasa. Menjadi hal biasa. Videocall hingga larut malam, hingga terlelap.

Enggak sih.. Aku mau mengabadikan tanggal ini karena tidak berulang di setiap tahunnya.

Sebanding dengan momen yang insya Allah akan terjadi, 20 hari lagi.

Tidak berulang. Tidak terulang. Sekali. Hari itu. Bukan di hari lain. Bukan di tahun lain. Dan untuk dijalani selamanya.

Satu fase kehidupan akan dilewati lagi.

Menikah.

Satu langkah yang sangat besar. Tidak sebanding dengan langkah pertama masuk sekolah. Langkah pertama menuju hari pertama kuliah. Atau juga, langkah pertama di hari pertama OJT bekerja. Beda jauh.

Setelah 16 tahun, dicengkoki beragam ilmu pengetahuan di berbagai bentuk kursi dan ruangan. 4 tahun berkelana, pergi dari rumah, jauh dari rumah, ke tempat yang di dalam pikiran untuk ke sana saja, tidak. Gunung Mas dan Palangka Raya. Dua kota yang berasa sangat jauh untuk orang yang ke kampusnya saja hanya berjalan kaki dan bersepeda.

Di 26 tahun ini. Dengan problematika yang sudah terjadi. Drama-drama kehidupan segala macam. Paling tinggi, paling down. Ku rasa, sudah cukup.

Ku perlu ada rasa keberanian ini. Memulai untuk selamanya. Mencoba untuk mampu meyakini, bahwa ya ini waktunya.

Pertemuan waktu itu, tidak mungkin sebuah kesalahan. Waktu tidak pernah salah. Kita saja yang tidak pernah mengambil sisi benarnya. Bertemu dengan orang lain, ku yakini tidak ada kesalahan. Semua sudah dirancang, sudah diatur, sudah terskema dengan baik oleh sang Maha Arsitek. Selalu ada jalannya ke yang seharusnya. 

Pada akhirnya, langkah besar ini sudah tertuju ke satu orang. Satu perempuan.

Pastilah tidak ada yang bisa menebak dan menjawab dengan yakin, kenapa, kenapa, kenapa. Karena jawaban yang pasti hanya "karena sudah waktunya".

Tahun kabisat 2020 adalah waktunya.

Bismillah, kita jalan bareng ya, Asri Eko Putri. 

Rabu, 24 April 2019

Tana Toraja, Makassar dan di Antaranya

Pronolog

Sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 13 Maret 2019, aku mengajukan cuti tahunan untuk tanggal 15, 16, dan 18 April 2019. Waktu pengajuan itu, aku masih belum memastikan, apakah akan travelling atau cuma sekedar istirahat di Banjarmasin. Pilihan yang sebenarnya tidak susah dijawab. Travelling yang artinya menjadi golongan putih yang nyata atau di Banjarmasin saja untuk mencoblos kedua pilihan presiden, atau mencoblos lebih dari satu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi maupun Kota. Keduanya sama, tapi dengan cara yang berbeda.

Tidak ada yang cocok untuk dipilih, lalu untuk apa wajib memilih?

Oke, mengenai ini tidak perlu diperpanjang. Pesta pemilihan itu juga sudah selesai.

Tentang cuti tadi. Setidaknya hingga awal bulan April, aku baru memastikan untuk membeli tiket pesawat. Pertimbanganku cukup sederhana sekali, yang penting untuk sekali jalan biayanya di bawah satu juta rupiah.

Lalu, pilihannya hanya ada, Surabaya dan Makassar.

Ke Surabaya? Mau sih, tapi ngapain ya? Sudah Pernah.

Oke, aku pilih ke Makassar.

Kemudian, ada pertanyaan lagi. Ke mana ya?

Di benakku cuma ada satu tempat.

Tana Toraja.

Daerah yang terkenal dengan adat istiadatnya, pikirku waktu itu. Hanya sekedar, tau nya tentang sekitaran prosesi pemakaman dan lokasi pemakamannya yang tidak lazim.

Sendirian?

Yeah, ini waktunya solo traveller.

Selama ini, tidak ada yang benar-benar sendirian. Selalu ada temannya. Entah itu bersama orang tua, teman, hingga benar-benar teman.

Alasan lainnya, tentang sejumlah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan sekian waktu yang seharusnya sudah dihilangkan.

Di tahun 2018, beragam cerita. Dari awal tahun, tentang kemampuan aku menjodohkan dua temanku. Lalu, mereka mencoba menjodohkan aku dengan dia. Dan di akhir tahun, dia menjodohkan dengan yang lain.

Ga beragam banget ya.. Hahaha

Malah seragam.

Tentang pasangan.

Tentang jodoh.

Bisa disebut secara kasar, kalau perjalanan ini tentang peralihan itu semua.

Mengalihkan itu semua ke hal yang lain. Setidaknya, mencoba.

Ketidakmampuan itu yang harus ku tuntaskan.

Peralihan ke hal yang lain, sudah diupayakan. Kembali ngelakuin hobi yang sudah lama tidak dilakuin, salah satunya.

Ketidakberhasilan mereka menjodokan aku dengan dia, dan malah dia yang "berhasil" menjodohkan aku dengan yang lain, membuat ada perasaan yang janggal.

Pembahasan ini akan panjang.

mereka yang anggap kami cocok, nyatanya tidak begitu.

Jak Koffie
Sulit mengatakan alasannya, tapi magnet itu tidak positif dan negatif. Tembok itu nyata adanya.

Sampai ke satu tahapan, dia mencoba memperkenalkan temannya.

Seperti kebanyakan orang, diperkenalkan ke seseorang tidak begitu saja langsung mengiyakan. Tidak langsung merasa klop. Berbulan-bulan sejak saling follow di instagram tapi belum ada kesempatan untuk saling tegur. Cukup saling tau saja, apa saja yang biasanya yang diposting.

Sampai akhirnya, tes CPNS yang membuka jalan itu.

Dia tes CPNS di kota ini.

Dan aku bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dan mengantarkan dia ke lokasi tes.

Random jika dibayangkan. Belum pernah ketemu sebelumnya, hanya sekedar berbalas DM di instagram, tapi pas ketemu, obrolan itu mengalir saja. Jika tulisan open di pintu masuk KFC waktu itu tidak dibalik, mungkin masih banyak paragraf-paragraf cerita yang disampaikan.

Malam itu diakhiri oleh hujan yang turun.

Lalu dilanjutkan, keesokanharinya, aku mengantarkan dia menuju lokasi tes.

Karena kesibukan, setelah dia tes, aku ga bisa mengantarkan dia kembali ke penginapan.

Pagi itu, pagi yang cukup aku ingat sampai sekarang.

Dia turun dari tangga, dengan baju putih rok panjang hitam jilbab hitam khas orang mau melamar pekerjaan. Membawa sari roti yang dia beli di alfamart kemarin malam. Di perjalanan, sambil makan rotinya. Menggunakan helm pinjaman dari temen.

Pagi yang penuh harapan. Harapan untuk masih bisa ketemu lagi.

Terwujud.

Di suatu hari, kami ketemu lagi di Banjarmasin.

Dan, ku berharap itu bukan yang terakhir.

Keinginanku masih ingin untuk bertemu lagi, memperbaiki sesuatu yang aku rusakkan kemarin.

Masih ingin berusaha.

Hingga ketikan ini.


Tana Toraja

Minggu sore, 14 April 2019.

Sesuai jadwal, jam 7 malam pesawatku mendarat di Makassar. tepat waktu. Tumben.

Kota yang belum pernah aku datangin. Sekilas mungkin sudah ada bayangannya, tapi tetap saja cerita selalu berbeda dengan yang dibayangkan.

Beberapa hari sebelumnya, aku sudah pesan bis menuju Tana Toraja, jam 9 malam. Malam itu juga.

Berdasarkan saran teman @putriii_santoso , maka menunggulah aku di Rumah Makan Minang. @putriii_santoso menjadi teman karena ada teman (atau tepatnya "pernah teman dekat") yang menyarankan untuk nanya-nanya mengenai Toraja ke dia. Dan cocok. Dia cukup mengenal daerah situ. Isi blognya cukup komunikatif dan jelas dari tempat-tempat yang harus dikunjungi hingga kebiasaan dan adat di sana. Terimakasih untuk penjelasan-penjelasan ke orang yang masih cupu dalam solo traveller ini.

Rumah Makan Putri Minang
Lokasi rumah makan ini persis depan jalan menuju Bandar Udara Sultan Hasannudin. Naik ojek bandara, sekitar 10-15 menit. Tapi karena kemarin, pakai ada acara ban bocor, jadinya sampai setenggah jam. Haha.

Ban Bocor

Rumah Makan Putri Minang layaknya salah satu tempat persinggahan bagi orang-orang yang mau naik bis malam menuju ke luar kota Makassar. Makanannya pun cukup enak dan murah.

Sekitar jam setengah 10, bisku datang.

Sesuai yang ku bayangkan, bisnya besar dan bagus sekali. Nyaman dan bersih. Sangat jauh jika dibandingkan dengan bis-bis yang ada di Banjarmasin.

Bis terbaik yang pernah aku tumpangin.

Double Decker Primadona
Pagi itu embun di Rantepao, Toraja Utara. Bergegas aku mencari masjid. Tidak lain dan tidak bukan, untuk membuang hajat yang sudah ditahan beberapa jam di dalam bis.

Masjid Agung Rantepao
Salah satu tujuan perjalanan aku itu mencari sebanyak yang ku mampu untuk ketemu masjid. Masjid Agung Rantepao ini termasuk masjid terbesar di sana.

Buang air kecil, lanjut buang air besar, kemudian ganti baju, mungkin sekitar 40 menitan, tukang ojek itu masih setia menunggu di depan masjid. Iya, pada saat masuk ke masjid ini, aku dihampiri tukang ojek untuk menawarkan jasa antarnya keliling kota atau sekedar menuju ke tempat yang diinginkan. Menghargai beliau, aku makai jasanya untuk mencari tempat penyewaan motor. Beberapa tempat penyewaan motor didatangin, tapi ujung-ujungnya ke penginapan Riana Homestay. Di sana, selain penginapan, juga menyediakan jasa sewa motor. Memilih ke sana, karena aku sudah pesan satu malam untuk menginap di sana. Yang pada akhirnya, aku tidak merasakan nginap satu malam di penginapan itu. Haha

Aku dapat motor beat untuk keliling kota selama dua hari. Biaya sewa motornya, per hari nya seratus ribu.

Sewa Motor Beat
Di sana, google maps berfungsi dengan baik. Peta sesuai. Tidak akan tersesat jika benar-benar mengikuti maps.

Tapi, aku, memang, kadang, tidak mau melihat maps. Untuk menemukan sesuatu yang tidak terduga. Baru setelah merasa tersesat, google maps diperlukan.

Rantepao
Lapar melanda. Dan malas mikir kemana. Ku coba ke tempat makan yang katanya langgganan @putriii_santoso.
Rumah Makan Barokah
Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi. Suasana embun masih ada. Aku mulai mencoba ke tempat-tempat yang bagi orang-orang kebanyakan adalah tempat wajib yang dikunjungi jika ke sana.

Ke'te Kesu'
Tempat yang paling dekat rumah makan barokah, adalah Ke'te Kesu'. Cukup memerlukan perjalanan sekitar 20 menit, sudah sampai ke tempat kampung adat ini. Sampai di sana, tidak banyak pengunjung. Jelas, karena aku datang di hari senin. Hanya satu atau dua rombongan yang ada saat itu. Di sini aku tidak terlalu berkeliling. Disayangkan sih. Tapi itu karena faktor tidak ada guide yang mendampingi. Berbedaan ke tempat berikutnya, Londa.

Londa
Tempat ini adalah alasan utama yang aku pikirkan ketika ke Tana Toraja. Harus ke sini. Tempat perkuburan adat orang Toraja, yang entah deh apakah di tempat lain ada juga atau tidak. Di sini, ada pemandunya untuk menjelaskan seluk beluknya tempat itu.

Tengkorak
Sebelum sampai ke tempat ini, aku belum pernah melihat tengkorak asli sedekat ini. Daya jelajah aku memang tidak atau belum sejauh mereka-mereka.


Londa
Beberapa Whatsapp masuk, menanyakan tentang pekerjaan yang aku tinggalkan. Untuk WA pribadi memang tidak ada matikan notifikasinya, tapi untuk grup, aku matikan semua. Tidak sedikit juga yang mencoba menelpon. Tapi ketenangan Londa tetap masih bisa aku nikmati. Tempat yang ramah mata, meneduhkan hati. Padahal, di depan adalah perkuburan. Tidak bedanya dengan tempat pemakaman lainnya.

Sekitar dua jam aku di sini. Satu jam diantaranya di gazebo yang disediakan.

lemo
Sama seperti Londa, Lemo juga adalah tempat perkuburan adat orang Toraja. Yang membedakan adalah di sini dengan di Londa, adalah di sini perkuburannya diletakkan dan diukir di tebing. Sedangkan di Londa, diletakkan di begitu saja di tebing tanpa diukir dan juga di dalam goa. CMIIW. Hehe.

Selain pemandangan perkuburan itu, pemandangan sawahnya juga menyehatkan mata.

Sawah

Gerimis mulai turun. Aku bergegas untuk menuju Buntu Burake.

Patung Yesus Memberkati
Di tempat ini, azan zhuhur terkumandang. Cukup jelas terdengar. Ini kah keberagaman yang diharapkan?

Patung Yesus Memberkati
Perjalanan siang itu akhirnya menemukan titik laparnya. Dari situ, lalu turun lagi ke Kota, Tepatnya Ke Makale, ibukota Tana Toraja untuk mencari tempat rumah makan.

Rumah Makan di Makale
Disarankan untuk cari tempatnya ada logo Halal. Karena katanya, yakin saja dengan logo halal yang ditampang. Kalau aku, mikirnya, carilah tempat makan yang berdekatan dengan masjid. Rumah makan ini persis di samping masjid di Makale. Sayangnya, aku ga sempat untuk memoto masjidnya.

Ada yang unik (bagiku), ada menu Soto Banjar di sini. Padahal, yang jual orang asli Toraja.

Hari mulai menuju senja. Aku harus ke Lolai, untuk nginap satu malam di sana. Lolai atau yang lebih dikenal "negeri di atas awan" adalah tempat yang selalu ditanyakan oleh driver ojek online ketika aku di Makassar di setiap kalimat "saya baru dari Toraja".

Tongkonan Lempe, Lolai

 Untuk sebuah kendaraan matic Beat yang ban belakangnya gundul, naik sampai ke sini cukup perjuangan untuk berhati-hati. Di sepanjang jalan, yang aku bayangkan bagaimana pas turunnya. Belokkannya sangat patah.

Dan, malam hari di situ, hujan deras. Malah, sempat aja mengetik untuk postingan ini.

Selasa, 16 April 2019. Sisa hujan malam tadi berefek dengan hawa yang sangat dingin di pagi ini.

Negeri di Atas Awan
Halo, aku sudah sampai sini. Aku tau, kamu juga suka travelling. Bukankah pekerjaan kamu sekarang juga bagian dari kesukaanmu itu. Cerita kamu tentang penginapan di Pontianak masih aku ingat. Malam tadi tidak seperti cerita kamu itu, syukurnya. Aku masih ingin dengar lagi cerita-cerita lainnya dari perjalanan kamu. Kapan? Aku masih bersedia meluangkan waktu. Tapi, sepertinya kamu sibuk, tidak ada waktu. Bahkan, sekedar buka media sosialmu lalu ke pengaturan untuk klik tombol unblock. Atau kalimat itu, sunguh benar? Selama ini aku menganggumu? Maafkan. Aku hanya ingin dilirik lagi. Seperti waktu itu, kamu mengomentari story ku yang gambar botol minuman. Kemudian dari situ menjalar ke lain. Sekarang kamu di mana? Sudah nonton Hotel Mumbai? Mau nanya soal Manchester United, tapi aku ga seupdate itu tentang bola. Green Tea Latte-nya Starbucks lagi yuk.

Di hari kedua di Tana Toraja, aku hanya fokus keliling Kota Rantepao. Rencana awal, sebenarnya mau hari rabu ke Makassar, tapi aku ubah jadwalnya. Aku pangkas waktu ku di Tana Toraja. Malam ini, aku naik bis untuk kembali ke Makassar.

Keliling kota dengan harapan ketemu barang yang bisa dibeli dan sebutlah itu oleh-oleh. Tetapi, aku tidak menemukan. Aku hanya beli Totebag dari Jak Koffie.

Tote bag

Padahal, aku sudah booking satu malam di Riana Homestay, jadinya cuma tempat persinggahan siang dan tempat mandi. Tidak sempat tidur di sana. Aku lebih milih tidur di bis primadona, menuju Makassar.

Bis Primadona
Untuk pulang, aku pilih kursi paling depan. Dan, ternyata lebih enak di paling depan ini daripada yang kemarin duduk di nomor 9. Ditambah lagi, di samping tidak ada penumpang lain.

Secara umum, aku sangat suka bis primadona ini. Kursinya empuk, ada bantal, selimut, kursinya bisa diatur agar menjadi posisi tidur, dan yang paling penting, pembawaannya supirnya yang sangat smooth, tidak ugal-ugalan. Ya jelas sih, bis sebesar itu, kalau ugal-ugalan, bisa dibayangkan akan lebih cepat, menuju jurang.

Makassar

Rabu 17 April 2019, tepat azan shubuh aku sampai di Terminal Daya, Maros. Pemilihan perbehentian di Terminal ini sebenarnya asal-asalan saja. Aku tidak ada pilihan untuk turun di mana. Biar gampang nyebutnya, jadinya aku minta turun di terminal saja.


Beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya. Tapi, karena aku orangnya sungguh milenial, aku lebih memilih ojek dengan aplikasi online. Pilihan menggunakan aplikasi ini agar biayanya jelas tidak terlalu tinggi tapi masih batas wajar.








Langsung menuju penginapan. Padahal masih jam 7 pagi.

Hotel Pesonna Makassar
Hotel ini persis bersebelahan dengan Kantor Cabang Pegadaian Makassar. Memilih Hotel Pesonna hanya karena ingin merasakan hotel milik anak perusahaan. Sebenarnya, beberapa di akhir tahun kemarin sudah merasakan hotelnya yang di Yogyakarta. Dan hasilnya, standarisasinya sama. Sama-sama berkonsep "hotel syariah" yang tidak ada embel-embel syariah di mana. Di hotel mana lagi ya, yang menyediakan Al Qur'an dan sajadah di dalam kamarnya?

Setelah mesan kamar, aku masih harus nunggu sampai jam 12 siang untuk check in. Untuk itu, aku milih bertitip tas dan ganti pakaian di toilet hotel.

Cream Soup KFC
Berlebihan atau gak ya, cream soup di KFC Sam Ratulangi adalah cream soup terenak di KFC yang pernah aku makan. Ayamnya juga ter-crispy. Tujuan kuliner banget. Wifi nya juga kenceng.

Pantai Losari
Dari KFC situ, aku buka maps, ternyata cuma sekitar 2 km menuju Pantai Losari. Aku pilih berjalan kaki. Setiap travelling seperti ini, berjalan kaki adalah prioritas. Kalau di Jakarta, dengan segala jenis trotoar yang sangat ramah pejalan kaki, aku pejalan kaki sejati.Turun Bus Transjakarta di halte Olimo untuk mencari nasi uduk yang terkenal di sana, kemudian berjalan kaki hingga Kota Tua. Biasa saja.

Di Makassar aku tidak terlalu banyak tempat yang aku kunjungi. 4 hari di sini, 4 kali masuk mall dengan 3 mall yang berbeda. Haha. Aku memilih ke tempat standar, ke Pantai Losari, Pantai Akkarena, Fort Rotterdam dan Bantimurang. Rasa memang ingin ke Samalona karena ada lagunya Rocket Rockers yang mencover lagunya Imanez, tentang Samalona. Tapi aku urungkan ke sana, karena, aku sadar, aku sendirian.

Bantimurung
Sore tadi ada teman yang nanya, "apa enaknya berangkat sendirian?" Aku jawab, "karena ingin tau rasanya, makanya berangkat sendirian. Ternyata, ga enak. Haha"

Aku memerlukan teman ngobrol di perjalanan. Cerita hulu ke hilir. Apapun.

Betapa romantisnya, aku ketemu sepasang suami isteri yang lebih tua daripada orang tua ku, couple travelling, di Bantimurung, hanya berdua saja. Seusia mereka, masih bisa menyempatkan waktu untuk liburan. Sang suami sangat bersemangat memoto isteri di sudut-sudut yang bagus dijadikan background foto. Pacaran di usia tua mengalahkan segalanya.

Relationship Goal
Dari cerita yang mereka utarakan, mereka sudah biasa perjalanan berdua. Paling bersemangat, yang isteri bercerita tentang mereka liburan di Bunaken. Membahagiakan.

Sebuah hubungan, aku berkeyakinan, mempunyai banyak kesamaan akan lebih baik. Sama-sama suka perjalanan, sama-sama saling mengerti, sama-sama saling memiliki. Sepasang pasangan yang ku temui siang itu, sudah panjang perjalanannya. Beragam kisah. Aku, tidak seberapa.

Pantai Akkarena
Epilog

Ada penyesalan berangkat sendirian sejauh itu?

Dusta, jika aku bilang lebih enak berangkat sendirian sedangkan sebenarnya aku memerlukan teman bicara. Tapi aku tidak menyesal. Aku memerlukan proses perjalanan sendirian ini. Keperluan masing-masing berbeda. Tahapan perjalanan sendirian ini aku perlukan untuk introspeksi ke diri sendiri, apa nih yang seharusnya dikerjakan, apa yang harusnya diabaikan.

Ketemu?

Yang mau dikerjakan sudah tau, yang seharusnya diabaikan sudah mengerti. Tapi, masih terpatri jika itu akan rumit dilaksanakan.

Ini tentang doktrin. Jika di awal sudah diucapkan tidak mudah, tidak gampang, susah, sulit, maka akan nempel begitu terus.

Paragraf-paragraf di atas, bermuara tentang kamu. Atau karena perjalanan ini masih kurang jauh, ya?

Bgzt.

Aku berharap perjalanan kemarin bisa membuat aku merelakan. Tapi, sekarang aku masih ada ingin berjuang.

Terlalu bucin jika aku bilang "perjuangan ini akan selalu aku perjuangan hingga kamu menolehkan kembali ke aku, untuk kembali".

Fak.

Ini postingan terakhir, tentang kamu.

Kesimpulan yang sebenarnya aku sudah tidak tau lagi, bagaimana kalimat lengkapnya.

Terimakasih, Mey di bulan April yang berulangtahun bulan Desember. Ada semangat yang lahir dari penutupan jalan yang kamu bikin untuk membuat ku berjalan sejauh Makassar dan Tana Toraja, sendirian.




























Senin, 15 April 2019

Blokir

15April 2019. Hujan deras di Tongkonan Lempe, Lolai.

Agar tulisan ini terbaca lebih indie, telinga disumpalin spotify, Fiersa Besari - April.

Seperti potongan liriknya..
"sungguh aku rindu berbagi tawa, kini kita tidak lagi menyapa"

Budak cinta.

Haha.

Ku meyakini, di antara kita ada kesalahpahaman yang seharusnya bisa diperbaiki.

Tapi kamu tutup proses itu.

Kamu blokir semua cara untuk ku perbaiki. Kenapa?

Rabu, 27 Maret 2019

Cabe Merah

Dia liat jam, kemudian bilang "kita sholat dulu ya".

Tepat jamnya azan zhuhur.

Momen yang sangat diingat. Tempatnya dan suasananya masih bisa dibayangkan.

Apa kabar, kamu?

Selasa, 26 Maret 2019

Kalian Salah

Ketika chat yang sudah selesai tidak langsung dihapus lagi.

Ketika setiap ada chat yang masuk, tidak ada harapan itu chat yang diinginkan.

Ketika ketikan di chat dianggap sebuah kumpulan kalimat yang biasa.

Iya, ku rasa semua berawal dari chat. Dan sudah seharusnya normal saja. Tidak ada yang harus diistimewakan. Tidak ada perasaan di dalamnya.

Begitu juga, yang harus dilakukan disaat bertemu.

Ketika orang lain menganggap hal yang lain, aku menjalankan secara normal.

Bagiku normal.

Bisa stand by di satu kantor, ngobrol, sesekali membantu, bagiku normal.

Apakah karena kami, atau setidaknya aku, karena ku ga tau dia, yang masih sendiri, lalu dianggap ada perasaan di dalamnya?

Dulu, iya. Sekarang, tidak ada perasaan apa-apa.

Setidaknya, mencoba.

Rabu, 27 Februari 2019

Fokusnya

Tahun ini akan berubah fokusnya. Tahun kemarin masih berharap untuk mengubah status. Untuk sekarang, mau untuk kembali seperti di zaman kuliah.

Mau sepedaan lagi. Tak mempedulikan kata mereka.

Kamis, 25 Oktober 2018

CV Seperempat Abad

Sekilas cerita yang masih ingat untuk diceritakan di seperempat abad ini:

1. Di waktu bayi, sudah banyak hal yang aku lupa. Yang bisa diingat dari aku ataupun dari perkataan orang tua, waktu aku bayi aku cukup cengeng. Hmmm, bukan cukup, tapi memang cengeng. Apa-apa nangis, merenggek. Dan ini masih lanjut sampai masuk sekolah dasar. Karena memang aku lupa soal bagaimana aku di waktu bayi, jadi langsung diskip aja.

2. Waktu di TK sampai SD, aku cukup bergaul dengan anak-anak sekitaran rumah dan di sekolah. Main permainan yang lagi tren di waktu itu, aku mainkan juga. Dan ya, memang aku ga jago-jago amat bermain, kalau kalah, bisa nangis ke rumah. Iya, ini masih soal cengeng. 2 hal pertama, masih tentang cengeng.

3. Pas kelas 5 SD, aku pindah sekolah. Sebenarnya tentang ini aku ga mau bercerita karena detailnya aku sudah melupakan, alasan kenapa pindah sekolah. Yang aku ingat, aku sering dibully. Aku memang cukup lemah di waktu itu. Poin 1 dan 2 di atas sudah membuktikan. Tentang cengeng. Di poin 3 ini, mungkin titik di mana aku sudah jenuh dengan pembullyan ke aku. Sebelum minta pindah sama orang tua, aku sudah malas-malasan sekolah. Ada aja alasan yang membuat aku ga masuk sekolah. Beneran, aku sudah melupakan detail tentang ini. Semakin aku mengingat, semakin aku lupa. Yang aku ingat sekarang, waktu itu memang aku merasa marah ke aku sendiri, kenapa ga bisa melawan pembullyan itu. Bisanya nangis dan menghindari dengan tidak ke sekolah. Sampai aku minta pindah, karena aku sudah ga nyaman.

4. Kepindahan sekolah ini membuat aku memulai cerita dari awal lagi. Teman baru, suasana baru, berbeda dengan yang sebelumnya. Sekolah sebelumnya terbilang cukup terkenal dan besar, ke sekolah yang biasa aja. Walaupun sebenarnya, itu cuma image yang dibuat untuk sekolah favorite dan non favorite pada waktu itu. Di sekolah baru ini, menyesuaikan lagi. Karena aku pindah di kelas 5. Cuma 2 tahun aja aku di sekolah itu. Murid lama cukup bantu aku untuk berteman dengan mereka. Karena ini lah, sebagian momen-momen di sekolah yang sebelumnya, aku mulai terlupakan. Karena merasa nyaman di sekolah atau memang merasa perlu dilupakan, beda tipis.

5. Pas lulus SD, bingung masuk SMP mana. SMP pilihan tidak masuk. Nilai aku ga mencukupi untuk lolos ke SMP tujuan. Last minutes, di pendaftaran terakhir, lupa dari info mana, pokoknya jadi pilih ke SMP yang cukup pelosok. Bahkan sebenarnya waktu itu, aku ga tau di mana posisi sekolahnya, hanya tau daerahnya tapi ga pernah ke sana. Oh ya soal nilai, aku merasa memang ga pintar-pintar banget. Eh atau mungkin, kepintaran aku itu ga konsisten. Maksudnya, aku bisa menjawab soal di suatu waktu tapi di waktu yang lain bisa ga tau jawabannya. Moody? Mungkin ya. Di SD yang pertama, ku beberapa kali masuk rangking 10 besar. Bukan sesuatu spesial sih, tapi cukup membanggakan karena agak susah masuk 10 besar di situ. Pas pindah, aku ga masuk 10 besar lagi. Lulus pun, dengan nilai yang tidak membuat aku bisa masuk ke SMP dalam kota. Di SMP, pernah masuk rangking 3 di semester 1 di kelas 1. Tapi selanjutnya, ga pernah lagi. Haha.

6. SD kelas 4 (kalau ga salah), jalan-jalan dengan orang tua beserta rombongan yang lain, ke pulau Jawa. Ini pertama kalinya aku keluar pulau. Waktu itu masih menggunakan kapal laut. Pengalaman pertama melihat laut luas, pengalaman pertama melihat kereta api, pengalaman pertama duduk di dalam gerbong kereta api, pengalaman pertama melihat monas, pengalaman pertama ke Dufan dan Taman Mini Indonesia Indah. Orang tua aku bukan orang kaya, jadinya perjalanan itu cukup terkesan.

7. Kemudian, pas libur semester kelas 2 SMP, kembali ke pulau jawa. Tapi ini tujuannya ziarah wali songo. Dan hanya dengan mama dan rombongan yang lain. Abah ga ikut. Pengalaman pertama kali juga, keliling pulau jawa karena ziarah wali songo. Cukup melelahkan tapi jadi kenal makam-makam wali songo. Tapi ada satu makam wali songo yang aku tidak ikut, karena daerahnya cukup terjal, dan aku kelelahan waktu itu.

8. Oh ya, dari masuk SMP, tubuh aku mulai gemuk. Padahal di SD, aku termasuk kecil dan kurus. Pertumbuhan di SMP, aku cukup lumayan. Jadi gemuk dan chubby. Mulai kelas 3 SMP, baru mulai meninggi dan akibatnya mengurangi kegendutan. Di kelas 3 itu aku mulai merasa harus kurus. Aku sebenarnya lemah di bidang olahraga. Kalau lari, pasti aku yang paling belakang. Salah satu penyebabnya karena tubuh aku yang gemuk. Waktu itu, yang aku ingat, berat badan aku, tembus 50-an Kg. Bisa tergolong gemuk di usia 13-14. Di kelas 3, karena aku merasa aku harus kurus, jadi walaupun aku selalu yang terakhir di lari, tapi selalu berusaha untuk sampai finish. Dan, yang cukup menjadi andalan aku, pada saat olahraga di sesi naik turun tangga. Aku pikir waktu itu, semoga dengan naik turun tangga ini membuat aku bisa tinggi. Dengan aku tinggi, pasti perut buncit bisa berkurang. Dan iya, pas SMA, perut buncit berkurang, berubah menjadi memanjang ke atas. Gara-gara naik turun tangga di kelas 3 SMP? Aku mikirnya itu sih..

9. Cerita di SMP, cukup beragam. Pernah jadi murid yang rajin, pernah jadi murid nakal, tapi yang pasti menjadi murid pendiam. Aku dasarnya memang pendiam. Tidak banyak hal yang bisa aku omongin, agak susah bergaul dengan orang lain. Ga banyak teman yang benar-benar akrab. Dan sebenarnya dari zaman SD pun begitu.

10. Lulus di SMP, kembali galau. Nilai kelulusan aku kurang memuaskan. Tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, tidak bisa masuk ke sekolah negeri. Di waktu itu, kalau masuk SMA swasta, terkesan buangan karena tidak keterima di SMA negeri. Dan, aku masuk SMA swasta. Dan aku masuk ke SMA swasta yang memang image nya, buangan dari SMA negeri. Pas masuk SMA ini, diketahui, beberapa murid memang berasal dari SMP favorite tapi tidak bisa masuk ke SMA favorite. Jadi terkesan benar kalimat di atas tadi.

11. Ya namanya, pendidikan semakin meninggi, jadi apa-apa harus ditingkatkan lagi. Di SMA, cerita semakin beragam. Yang ga pernah ikut pramuka, jadi ikut karena diwajibkan. Di SD sebenarnya ikut juga, tapi malas-malasan. Jadi ga rutin datang. Pas di SMA, wajib ikut tiap minggu nya dan harus ikut kemah pramuka di tambang ulang. Dan ini pertama kalinya, aku jauh dari orang tua. Beneran. Sebelumnya ya pernah jauh dari orang tua. Bahkan seharipun. Untuk yang kemah ini, kalau ga salah, 3 hari 2 malam. Untuk pertama kalinya juga aku melihat secara langsung orang kerasukan. Dan, aku mungkin salah satunya juga. Ingat banget, pas malam terakhir, pas api unggun, beberapa yang lain ada kerasukan, dan aku juga merasa demikian. Kata teman-teman, aku tiba-tiba berpengangan erat di bahu dengan yang depan, sampai akhirnya yang di depan menegur aku, dan melihat kalau mata aku sudah merah. Selanjutnya aku di gotong ke aula. Selebihnya, aku didoain. Aku memang merasa berpengangan erat banget ke bahu teman yang di depan, aku merasa digotong ke aula, dan aku merasa didoain pas di aula. Pengalaman horor pertama. Dan sampai sekarang, ga pernah terulang lagi. Mungkin dulu itu faktor kelelahan. Siangnya memang melelahkan.

12. Di SMA mulai mengenal internet. Awalnya mirc, ym, myspace, friendster, facebook hingga twitter. Zaman itu masih agak susah jaringannya. Hp masih hp jadul. Nokia E63 disaat yang sudah heboh dengan blackberry gemini. Kalo mau bermedsos, harus ke warnet dulu. Minimal sejam. Bisa lebih dari sejam, kalo sekalian download lagu-lagu dari stafaband, ziddu atau 4shared. Bagi ku, ku harus bersyukur menjadi orang yang bukan termasuk pecinta game online.
waktu itu. Aku memang pecinta game online. Suka main tapi suka bosan juga jika dilakukan secara terus menerus. Oh ya, mengenal blog juga dari zaman SMA. Dulu ada lagi alamat blog yang lain, tapi isinya ga jelas. Lalu dibikin lagi yang ini. Kenal Youtube juga dari zaman SMA. Tapi dulu, masih susah jaringan, selalu buffering. Aku belum mampu punya hp bagus dan warnet yang biasa didatangi ga kenceng-kenceng banget.

13. Mulai mengenal medsos, maka mulai juga bertambah teman yang tidak nyata. Dengan adanya medsos, sebagai anak yang pendiam, cukup membantu menambah wawasan dan ruang lingkup pertemanan. Walau itu hanya maya. Tapi walaupun begitu, sempat juga menjadi kenyataan. Ketemu beneran, kenalan beneran, jadian beneran. Punya pacar pertama, dari situ. Duh, agak malu membahas ini. Tapi ya, beginilah perjalanan hidup. Ada tahapan di hidup aku yang harus dilalui. Tahapan pacaran ini juga.

14. Kehidupan SMA adalah kehidupan bersenang-senang sebelum tiba ke jenjang perkuliahan. Aku cukup menikmati masa-masa itu. Masa-masa bersaing di pelajaran. Masa-masa pertemanan. Masa-masa pacaran. Masa-masa galau setelah putusan. Sekarang memang nyebutnya menikmati, tapi sebenarnya waktu itu, kacau juga. Absurd.

15. Ada satu keinginan, setelah lulus SMA, bisa masuk universitas lambung mangkurat. Pas kelas 3, lumayan digenjot supaya bisa kuliah di situ. Ikut bimbel salah satu caranya. Satu kelas bimbel dengan pacar, dikira salah satu cara supaya bisa termotivasi. Bisa lulus dan masuk kuliah bareng. Tapi ternyata tidak sampai. Putus di tengah jalan, dan tengah ke akhir, menjadi kacau. Tapi syukurnya, masih bisa masuk di universitas impian. Bukan universitas besar sebenarnya, tapi adalah salah satu kebanggaan tersendiri. Orang tua, tidak ada yang merasakan kursi perkuliahan. Riwayat pendidikan bukan di sekolah-sekolah favorit, tapi bisa duduk di kampus tertua di kota Banjarmasin.

16. Oh ya, sebelum lulus SMA, aku sempat ikut kuis. Dan aku menang kuis. Hadiah kuisnya, bisa nonton konser Avri Lavigne di Jakarta. Itu adalah 3 hari sebelum pengumuman kelulusan. Aku harus memasukkan cerita ini karena salah satu momen yang akan selalu diingat. Bisa nonton konser gratis dan sendirian tanpa orang tua. Menyenangkan.

17. Masuk ke perkuliahan. Mulai dengan pusing materi-materinya. Di SMA, aku jurusan IPA. Terbiasa dengan rumus dan angka-angka pasti. Pas masuk di perkuliahan, aku dipertemukan dengan teori-teori sosial. Aku juga sih yang memilih jurusan ini. Dengan harapan bisa bekerja di pemerintahan dan lebih bersosial. Agak bertolak belakang dari latar belakang pendidikan di SMA dan orang tua yang merupakan pedagang biasa di pasar dan memang secara umum di keluarga aku adalah pedagang bukan keluarga yang banyak bekerja di pemerintahan.

18. Tidak seperti di SMA, jadwal kuliah lebih fleksibel. Bisa pagi, siang, sore, bahkan hingga malam. Datang ke kampus pun, belum tentu juga ada kuliah. Bisa lebih santai daripada SMA yang senin sampai sabtu harus ke sekolah. Di perkuliahan, pertemanan jadi lebih luas lagi. Karena sebagian besar mahasiswanya berasal dari luar kota. Jadi ada punya teman dari luar kota yang belum pernah ke kotanya, bahkan ada yang belum pernah dengar nama kotanya.

19. Masa-masa kuliah dilalui dengan santai-santai saja. Beberapa juga ada melakukan hal yang tidak dilakukan sebelumnya. Aku yakin ini karena faktor egonya mahasiswa. Yang pertama, mulai semester 4, aku mulai bersepeda ke kampus. Rutin setiap kali ke kampus. Mau kuliah pagi, siang atau sore, tetap bersepeda. Mau panas atau hujan, tetap bersepeda. Mau diketawain orang lain, tetap bersepeda. Pergerakan bersepeda ini, aku kepikiran untuk membuat komunitas yang berisi pesepeda yang bersepeda ke kampus. Ngajak-ngajak gitu, berujung, sekali masuk koran kampus, dua kali masuk koran kota, dua kali diwawancarai di radio dan sekali masuk televisi. Satu orang pendiam yang dulunya cengeng karena sering dibully, bisa membuat komunitas. Kedua, ketika 2 semester terakhir, aku memilih setiap hari jumat aku jalan kaki dari rumah ke kampus. Bersepeda dan berjalan kaki ini sama alasannya. Sama-sama sudah merasa resah dengan kemacetan di Banjarmasin. Yang ketiga, juga karena keresahan. Resah dengan banyaknya perokok disekeliling aku, makanya mencoba membuat komunitas yang isinya bukan perokok. Untuk komunitas ini, kurang berkembang. Komunitas ini beriringan dengan proses pembuatan skripsi. Dan bukan kebetulan, skripsi aku tentang kawasan rokok di rumah sakit. Komunitas itu sebenarnya ada karena aku membuat skripsi. Tapi ternyata ga bisa berlanjut, aku nya lebih fokus ke skripsi. 3 tahun setengah dilewati di masa perkuliahan yang cukup beragam cerita. Dan aku bisa lulus angkatan pertama di angkatan 2011.

20. Lulus kuliah, langsung cari pekerjaan. Apapun ada lowongan dan aku merasa sanggup, aku coba lamar. Target bisa jadi PNS harus ditutup rapat-rapat waktu itu, karena tidak ada penerimaan. Aku ingat, aku pernah melamar di toko baju clothingan gitu karena merasa aku suka dengan baju-baju gitu. Tapi tidak ada kabar selanjutnya. Aku ingat, aku pernah melamar ke perusahaan batubara. Aku ketemu lowongan ini dari grup loker di facebook. Iya, semenjak lulus kuliah jadi gabung grup-grup seperti itu, buka forum loker di kaskus. Di perusahaan batubara ini aku sampai tahap wawancara. Tapi tidak ada lagi kabar selanjutnya. Itu pas bulan ramadhan. Sepuluh hari menjelang lebaran, teman ada yang menghabari kalau ada penerimaan karyawan di perusahaan BUMN. Karena di persyaratannya tidak melihat latar belakang pendidikan, jadinya aku ikut daftar. Ngirim berkas di kantor pos di H-7 lebaran, memang kurang tepat. Aku harus ikut antri dengan yang mengirim paketan ke kampung halaman.

21. Singkatnya, setelah lebaran, berkas-berkas yang aku kirim tadi, lolos administrasi. Lalu ikut tes. Tes pertama di gor hasanudin, waktu itu 350an orang di sana yang ikut. Aku lupa berapa ratus soalnya, yang jelas banyak. Kemudian seminggu lebih ada pengumuman. Aku lolos dan ikut tes selanjutnya. Singkat kata, aku keterima. (malas menjabarkan satu persatu tahapan tesnya). Keterima menjadi calon pegawai. 2 minggu harus ojt terlebih dahulu. Kemudian diklat selama 2 bulan. Pengalaman yang sungguh menarik, waktu itu. Aku bisa keterima bekerja hanya berselang 3 bulan setelah lulus kuliah. Sungguh bersyukur.

22. Setelah diklat selama 2 bulan di Surabaya dan Malang, kemudian balik lagi. Februari 2016, resmi menjadi pegawai tetap. Akhir februari, penempatan pekerjaan. Dan kocokan aku menunjuk aku harus ke Palangka Raya. Kota yang hanya sebatas tahu tapi tidak pernah ke sana sebelumnya. Kesannya jauh. Masih ingat sekali hari pertama aku ke Palangka, naik travel dengan teman yang sama-sama ditempatkan di Palangka. Masih ingat, pada saat turun dari mobil travel, supirnya berkata "kalian suami isteri ya?".

23. Ternyata Palangka hanya tempat persinggahan. 2 minggu di Palangka, lalu dimutasi ke Gunung Mas. Kota yang semakin terkesan jauh bagi ku. Dan benar aja, cerita-cerita proses perjalanan ke Gunung Mas. Naik turun bukit, jurang dan beberapa jalannya ada kerusakan. Dan aku bisa bertahan di situ setahun delapan bulan. Sebagai pegawai, aku adalah pegawai paling lama ditempat di situ dibandingkan dengan pegawai-pegawai sebelum aku. Mau tidak mau, harus bisa menikmati kehidupan di sana. Jauh dari keluarga. Perjalanan pulang ke Banjarmasin yang cukup melelahkan.

24. Setelah setahun delapan bulan di Gunung Mas, aku dimutasi ke Palangka. Tepat hari ini juga, setahun yang lalu, aku merayakan perpisahan dengan teman-teman di Gunung Mas. Banyak sekali cerita selama aku di Gunung Mas. Perjalanan yang melelahkan, perjalanan yang tantangan, perjalanan yang perjuangan, macam-macam, sudah pernah dilewati. Malam mingguan sendirian di atas gunung, sudah pernah. Sampai, malam tahun baruan di atas gunung, juga sudah pernah. Kini, aku sudah di Palangka. Secara umum, aku merasa lebih lelah semenjak di Palangka. Bukan hanya tentang pekerjaan, tapi juga tentang melewati pekerjaan itu. Di Gunung Mas, walaupun jauh, ada aja teman yang menemani dari jauh. Pas didekatkan ke Palangka, malah menjauh. Dari awal turun ke Palangka, rasa lelah itu seperti tidak ada penawarnya. Tidak ada yang benar-benar menjadi penawar. Sempat aku kira ada. Tapi ternyata itu bukan. Sudah sebulan lebih, aku benar-benar merasa tidak ada, sendirian. Aku merasa lebih baik seperti ini, daripada kepedean. Cuma semu.

25. Sekarang bagaimana? Mencari penawar lelah itu. Dengan meminimalkan rasa percaya diri. Samakan tujuan, saling ingin menjadi penawar lelah satu dengan yang lain. Itu saja, cukup.

...

Huh, panjang. Masih banyak cerita yang bisa saja aku ceritakan. Perjalanan seperempat abad ini tidak pendek. Tapi aku tidak bisa sedetail itu. Yang bisa aku sampaikan, aku harus bersyukur, aku masih ada nafas hingga ketikan ini. 25 tahun, jantung selalu berdetak, aliran darah selalu berjalan, sehat, alhamdulillah.. Doa yang terbaik untuk aku, orang tua, dan sekeliling aku. Semoga menjadi orang yang lebih baik dalam segala hal, apapun itu, berusaha terus hingga benar-benar tidak ada lagi nafas yang diberikan ini. Lancarkan prosesnya, mudahkan jalannya, bismillah..