Jumat, 07 Oktober 2016

Anak Perantauan ini Tidak Pernah Menanyakan Bagaimana Kabar Orang Tua, Kenapa?

Semenjak tahun lalu, saya mulai berlatih merantau. Ini latihan pertama dan terakhir sebelum benar-benar merantau. Tahun lalu, latihannya, merantau di Surabaya dan Malang yang ditotal hampir 60 hari lamanya. Terakhir kali meninggalkan rumah yang cukup lama, pada saat KKN di Martapura, dan itu cuma 30 hari. Setengahnya.

Hari ini, sudah lebih dari 7 bulan merantau karena pekerjaan yang mengharuskan untuk itu.

Dan hingga hari ini juga, tidak pernah menanyakan apa kabar orang tua secara langsung. Tidak pernah "apa kabar, ma? Sehat?". Begitu juga dengan ayah.

Durhakakah saya?

Bagi mereka yang rutin menanyakan yang demikian, mungkin menganggap saya sombong dengan orang tua.

Tapi itu cara saya. Agar usaha kemandirian ini tidak dirusak karena perasaan yang rindu dengan suasana rumah, rindu dengan orang tua.

Tidak ingin merasakan itu.

Kini, di paragraf ini, saya menjadi homesick. Kampret, postingan ini!

Senin, 03 Oktober 2016

Iya, Saya Pendiam

Dalam satu kelompok bermasyarakat, tentu ada berbagai macam manusia di dalamnya. Satu di antaranya adalah tipe pendiam. Tidak banyak bicara. Bicara dalam artian paling sempit, yaitu berbicara secara verbal, bicara dengan bantuan mulut.

Bagi yang mengenal saya, walaupun dalam waktu tersingkat pun, pasti langsung beranggapan saya tipe manusia pendiam.

Iya, saya pendiam.

Pendiam dalam artian paling sempit. Tidak terlalu suka dengan berbicara. Lebih suka mendengar. Lebih suka melihat. Lebih suka merasakan. Dan, lebih suka melakukan.

"Bicara", kenapa kata kerjanya menggunakan imbuhan "ber-", bukan "me-"? Coba kata lain; "dengar", kata kerjanya menjadi "mendengar", "lihat" menjadi "melihat", dan "rasa" menjadi "merasakan". Kata "lakukan" lebih seperti kata seruan, kata kerja yang cocok adalah ketika menambahkan imbuhan "me-", yaitu "melakukan".

Tentu, saya bukan guru bahasa Indonesia. Bukan ahli bahasa. Hanya sekedar mau mencoba untuk berpikir, kenapa demikian?

Bicara merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh mulut, itu arti yang paling sederhana yang semua orang yakini.

Bagi saya, entah bagi orang pendiam di bumi belahan lainnya, bicara tidak sekedar berasal dari aktivitas dari mulut, tapi juga bisa dari mata, telinga, tangan, kaki, dan hingga hati.

"matanya berbicara", bukankah itu kalimat yang lucu? Mata berbicara? Sebaliknya, saya tidak pernah mendengar kalimat "mulut berbicara". Karena kalimat "mulut berbicara" merupakan hal yang lumrah, biasa.

Kalau, "telinga berbicara", kayanya memang nggak cocok ya. Telinga alat pendengaran. Maka, semestinya, selalu mendengarkan hal-hal yang baik, agar apa yang dilakukan oleh bagian tubuh lain menghasilkan manfaat. Jika telinga selalu mendengar kebaikan, apa salah mulutnya juga selalu berbicara kebaikan?

Tangan, kaki, hingga hati, demikian pula.

Seorang politikus yang bertekad memenangkan sebuah pemilu, apa yang keluar dari mulutnya adalah hal yang pertama yang harus ditagih pada saat dia duduk di kursi ternyaman itu. Tidak ada hubungannya dengan paragaraf sebelumnya, cuma mau bilang kalau itulah hebatnya mulut. Bisa membuat seseorang berjaya tetapi bisa sekaligus menjadi bahaya ketika tidak mengontrol.

Iya, saya pendiam. Akan selalu menjadi pendiam. Diam, tidak banyak berbicara dengan mulut. Masih ada alat lain di tubuh ini yang bisa untuk berbicara.

Saya selalu memegang prinsip, "semakin banyak berbicara semakin banyak pula bohong di dalamnya.. dan semakin banyak berbohong, semakin sakit pula nantinya efeknya".

Jumat, 23 September 2016

Angka-Angka yang Terhingga hingga Tak Terhingga

Satu tahun keseluruhan.

Tiga bulan percobaan.

Satu setengah bulan dibina.

Delapan bulan sudah berjalan.

Tujuh puluh lima ribu awalnya.

Empat koma sekian selanjutnya.

Lima puluh lebih mungkin sudah totalnya.

Tiga puluh gram kini dimiliki.

Sepuluh pakaian dipunyai.

Lima buku dikoleksi.

Sepuluh kali duduk di depan layar besar.

Jutaan yang jadi daging.

Belasan juta yang jadi investasi.

Dan, tak terhingga rasa syukur.

Kamis, 15 September 2016

Cerita Si Bos dan Anak Buah

Antara tingkat jabatan dengan tingkat senioritas, mana yang lebih penting?

Ceritanya, ada seorang bos memiliki anak buah yang jauh lebih berpengalaman daripada dia. Dia menjadi bos karena memenangkan pertarungan dengan ratusan kandidat bos lainnya. Sedangkan anak buahnya, sudah bekerja puluhan tahun dan karena merasa lebih senior, kerap anak buahnya ini merasa dirinya yang paling benar, dirinya yang mengeluarkan pendapat dan harus disetujui oleh siapapun, termasuk bosnya yang masih bau kencur.

Si bos ini orangnya pendiam. Tidak banyak ngomong. Berbanding terbalik dengan anak buahnya. Anak buahnya banyak ngomong, karena dia lebih senior.

Suatu ketika, si anak buah ini mengusulkan sesuatu. Usulnya cukup baik. Masih masuk dalam penalaran bosnya. Setuju saja, pada dasarnya. Namun, bosnya kurang setuju dengan alasannya. Anak buahnya ini mengusulkan memindahkan pos satpam di tempat kerjanya yang memang sudah kurang memadai ke tempat persis jalur orang-orang ke toilet kantor. Alasan pemindahan ini adalah, kata si anak buahnya, untuk tidak lagi masyarakat umum masuk ke toilet yang dimaksud, karena itu bukan toilet umum. Katanya. Sedangkan si bos, setuju pos satpam direhab, pos satpam perlu dipindahkan karena posisi yang sekarang ini menutup sebagian lahan parkir, tapi tidak setuju alasannya untuk menutup jalur masyarakat ke toilet. Di tempat kerja mereka ini, tempatnya bukan di pasar. Dan terlebih lagi, masyarakat yang datang, sering kali, masyarakat pelosok yang ada memiliki urusan dengan tempat kerjanya. Bagi bosnya, permasalahan kencing atau beraknya masyarakat tidak bisa ditahan atau dipaksa untuk tidak memperbolehkan mereka masuk ke toilet tempat kerjanya. Di sisi lain, di sekitar tempat kerjanya, tidak ada toilet umum. Benar, toilet tempat kerjanya juga bukan toilet umum, tetapi toilet mereka memiliki akses dari luar, ada akses jalan dari masyarakat umum untuk membuang hajat mereka.

Pada akhirnya, si bos pendiam yang bau kencur ini mengalah dengan anak buah yang sudah senior. Benarnya keputusan si bos untuk mengalah?

Jumat, 09 September 2016

Friday, I'm in Love

Jumat, 9 September 2016. Di Gunung Mas. Diawali hari ini dengan hujan deras. Dari setelah azan shubuh hingga pukul 09.00 Wib. Beberapa menit sekali teduh, tapi lebih sering hujannya.

Seperti biasa, setelah breifing pagi, kasir mengambil modal kerja. Adalah sebuah keharusan dan rutinitas yang tidak bisa dilepaskan dari pekerjaannya. Hari ini, ada yang berbeda. Dia (kasir), tidak bisa mencetak laporan mengambil modal kerja. Ketika tidak bisa mencetak dokumen, maka tidak ada bukti bahwa hari ini telah mengambil modal kerja. Ya, di sistem, di komputer kami, telah mengambil modal kerja. Tapi tidak ada buktinya.

Nasabah datang. Membawa surat gadai, ingin menebus sebagian barang gadaiannya. Kami pikir, ketidakbisaan mencetak bukti pengambilan modal kerja tadi tidak merembet pada bukti pelunasan gadai. Ternyata sama. Alhasil, pada sistem, barang gadaian si nasabah sudah ditebus tetapi tidak ada bukti ke nasabah bahwa sudah ditebus. Tidak ada struk pelunasan.

Pukul 08.55 Wib.  Telpon kantor berdering. Kanwil bagian keuangan menelpon. Suara si penelpon sama dengan suara pada kemarin. Kemarin, juga ditelpon. Dan, hari ini kembali menelpon. Menanyakan prihal kemarin, memastikan, kenapa pada tanggal 3 September lalu ada transaksi yang tidak wajar, yang tidak semestinya ada. Sebenarnya, sejak kemarin, saya sudah mengetahui transaksi apa, tapi belum begitu yakin pada saat ditelpon. Makanya, hari ini ditelpon untuk memastikan. Dan, iya, dengan yakin hari ini saya mengatakan saya melakukan kesalahan menginput data pada tempo hari yang berakibat pada adanya transaksi yang tidak wajar. Mengakui kesalahan ini, saya disuruh untuk membuat surat resmi dari unit kami dan ditujukan kepada kanwil bagian keuangan. semenit setelah selesai ditelpon, saya lalu menelpon pimpinan cabang di Palangka. Menanyakan, sekaligus curhat bahwa tadi ditelpon oleh kanwil bagian keuangan. Atas saran pinca, saya membuat surat kronologis kesalahan yang saya buat pada tanggal 3 September lalu. Untuk pertama kalinya, saya sebagai pengelola unit, membuat surat resmi yang ditandatangani oleh saya sendiri lalu ditujukan oleh pinca dan akan diteruskan ke kanwil bagian keuangan. Mengenai seseorang yang menelpon dari kanwil bagian keuangan, belakangan diketahui adalah mantan pinca tempat di mana saya OJT setahun yang lalu. Semestinya, saya yakin kalau itu adalah suara yang saya kenal, seyakin kesalahan yang saya perbuat 7 hari lalu.

Surat selesai satu jam kemudian.

Setelahnya, masih belum selesai. Permasalahan tidak bisa mencetak dokumen belum terpecahkan. Akibatnya, beberapa nasabah yang datang diberitahukan jaringan kami sedang gangguan dan meminta untuk kembali datang siang, besok, atau selasa nanti.

Setengah jam sebelum istirahat salat jumat, saya menelpon helpdesk, mengadukan prihal gangguan tidak bisa mencetak ini. Dari ujung telpon sana, membimbing saya untuk melakukan apa yang dia perintahkan. Buka ini, centang ini, close, buka lagi, coba restart, buka lagi dan seterusnya. Sampai akhirnya, lawan bicara saya menguasai komputer saya. Sekarang jadi tahu, bahwa mereka bisa menguasai komputer semua unit. Tentunya, dengan persetujuan di unit itu, dengan mencentang pada satu bagian dan memberitahukan ip address komputer kita.

Saya lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 kurang beberapa menit lagi. Kasir sudah pamit keluar kantor, siap-siap ke masjid. Saya masih memperhatikan pergerakan mouse yang dimainkan oleh satu satu operator helpdesk. Kami sudah tidak berkomunikasi dengan telpon lagi, karena jika kami telponan akan memperlambat bahkan menghambat kinerja internet di komputer. Telpon yang dipake adalah telpon yang memiliki jaringan internet dan terhubung di setiap unit kerja. Kami berkomunikasi dengan word yang ada di komputer. Jadi saya juga membalas dari situ juga.

Pukul 11.30 Wib. Azan belum terdengar. Eh, atau saya tidak mendengar. Tidak tahu. Biasanya, jam seini, saya sudah berada di masjid dan azan telah berkumandang. Sebenarnya, saya ingin chat kalau saya mau izin ke masjid, tapi memperhatikan gerak-gerik mouse, saya berkeyakinan bahwa sebentar lagi selesai. Ternyata, lima belas menit kemudian, masih belum selesai juga. Maka, saya menyela, saya chat, mengatakan bahwa izin ke masjid. Sepuluh menit kemudian, saya sudah di masjid, dan imam sudah sujud rakaat pertama. Ini pertama kalinya, saya datang, di salat jumat, sebagai masbuq.

Kembali ke kantor, pukul 12.45 Wib. Setelah makan siang di tempat biasa. Sengaja bergegas ke kantor, dengan harapan yang bulat, permasalahan sudah selesai. Ternyata, masih belum. Saya coba telpon lagi helpdesk, menanyakan bagaimana kelanjutannya. Mereka menyerahkan permasalahan ini ke kanwil bagian TI. Untuk keduakalinya, saya bertelponan dengan salah satu pejabat di kanwil. Meski itu bukan dari bagian yang sama.

Dari telponan itu, tidak menghasilkan apa-apa, selain saya mendapatkan kontak whatsapp yang menjadi lawan bicara saya kali ini. Beliau meminta saya mengirimkan foto bagaiamana tampilan komputer ketika mau mencetak dokumen melalui aplikasi itu.

Pukul 14.25 Wib. Hampir, sepuluh nasabah yang kami minta untuk datang lagi, besok atau selasa. Beralasan bahwa sedang gangguan.

Merasa ini kelamaan, saya coba telpon lagi helpdesk. Dan mereka meminta kami menghubungi tim jaringan pusat. Prihal ini, saya mengirim pesan ke salah satu pejabat yang sudah saya punyai kontak whatsapp nya. Beberapa saat kemudian, handphone saya berdering. Ada telpon dari 021 bla bla bla. Langsung saya angkat, dan itu dari tim jaringan pusat. Bessar kemungkinan, beliau (salah satu pejabat di kanwil bagian TI) memberikan no saya ke salah satu orang di tim jaringan pusat.

Singkat cerita, pukul 16.00 Wib, permasalahan cetak dokumen telah teratasi. Walaupun begitu, tim jaringan pusat tidak bisa memastikan jika permasalahan itu tidak akan terulang lagi, ini hanya mengatasi sesaat saja.

Lalu, sekarang, pukul 18.35 Wib. Teringat bahwa, pagi tadi, sebelum ke kantor, di pagi yang hujan deras, saya sedang mendengarkan lagunya The Cure yang judulnya Friday, I'm in love yang kemudian juga saya update di path.

Yes. Friday, i'm in love.

Kamis, 16 Juni 2016

Di Perantauan

Di perantauan, kita merantau. Kita keluar dari zona aman. Keluar dari segala kemudahan-kemudahan yang selalu kita dapati di kota sendiri. Tidak ada kemudahan ketika di perantauan, awalnya. Pasti sulit. Sulit meninggalkan kota yang dari kita lahir hingga sudah mengenal kata perintah untuk merantau. Banyak hal yang harus ditinggalkan. Kebiasaan-kebiasaan di kota asal yang unik maupun yang udik. Orang-orang yang memiliki peran penting dalam tumbuh kembang kita. Dan tentu juga, kenangan.

Di perantauan, kita sendiri. Segalanya sendiri. Tidak ada yang membangunkan ketika sahur. Tidak ada yang menyediakan makan. Tidak ada yang bersedia menyucikan pakaian. Tidak ada. Kita sendiri yang harus berinisiatif untuk melaksanakannya.

Di perantuan, kita mandiri. Karena kita sendiri, makanya kita mandiri. Saling berkaitan satu sama lain. Jika tidak pernah sendiri, maka tidak akan pernah pula menjadi mandiri.

Di perantauan, kita bebas. Apapun kita dapat lakukan. Karena kita merantau. Karena kita sendiri. Karena kita mandiri.

Di perantauan, kita adalah kita. Bukan orang lain. Kita yang seutuhnya adalah ketika kita di perantauan.

Di perantauan, kita merasa jauh. Sedekat apapun kita merantau dari kota asal, tetap saja merasa jauh. Apalagi, jika, dari segi jarak, memang, jauh.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Satu jam yang lalu, saya baru mengunjungi acara pameran yang diadakan Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dalam rangka merayakan ulang tahun kabupaten yang ke 14 tahun. Di lokasi pameran, saya merasa seperti di Kota Banjarmasin dalam bentuk yang berbeda. Ya jelas ada sisi-sisi yang berbeda. Mungkin faktor kangen kampung halaman, jadinya serasa di Kota Banjarmasin. Beginilah rasanya merantau. Ah,  tidak bisa dilanjutkan lagi. Tidak ada kata-kata lagi.

Terimakasih, karena telah mempercayaiku untuk merantau.

Rabu, 15 Juni 2016

Minggu, 05 Juni 2016

Ada yang Berbeda..... Banyak

Alhamdulillah, bertemu dengan bulan Ramadan kembali. Bertemu bulan yang sama dengan bulan di tahun-tahun yang sudah lewat, namun ada yang berbeda. Dan itu, banyak.

Kembali terucap dan sepertinya akan selalu terucap di setiap awal paragraf di postingan ini, alhamdulilah. Bulan Ramadan di tahun ini, tidak lagi berstatus mahasiswa. Sebenarnya, setahun yang lalu, juga sudah tidak berstatus mahasiswa. Namun bedanya, di tahun lalu, status bukan mahasiswa lagi baru dilepas dua hari sebelum memasuki bulan Ramadan. Perbedaannya juga terletak pada, tahun lalu, statusnya adalah baru lulus kuliah dan entah ngapain selanjutnya. Masih teringat jelas dalam ingatan, bulan Ramadan tahun lalu, bersama teman sekampus yang juga baru lulus kuliah, membuat surat keterangan catatan kepolisan dan surat pencari kerja. Pun, saya melamar pekerjaan, juga di bulan Ramadan. Dan, segala yang dilakukan pada Ramadan tahun lalu, berdampak dengan yang terjadi di Ramadan tahun ini. Teman sekampus yang bareng pas Ramadan tahun lalu, kini dia bekerja di sebuah bank plat merah. Dan, saya, bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang (masih banyak) dikira masyarakat adalah perusahaan swasta, Pegadaian. Apa yang dilakukan Ramadan tahun lalu, memiliki dampak yang cukup bombastis di Ramadan tahun ini. Itukah yang namanya berkah Ramadan?

Alhamdulillah.. Dampak yang saya sebut cukup bombastis itu memang agak berlebihan bagi orang lain. Mungkin begitu. Tapi bagi saya yang merasakan, begitulah rasanya. Bermula di bulan Ramadan tahun lalu, dan berlanjut pada bulan-bulan selanjutnya, dan kemudian bertemu dengan bulan Ramadan lagi, keadaannya berbeda. Sungguh berbeda.

Alhamdulillah, Ramadan tahun ini tidak menjadi tanggungan orang tua lagi. Sejak diterima di perusahaan hijau ini, sudah bisa tidak meminta uang jajan lagi. Berbeda dengan Ramadan-Ramadan yang sudah dilalui, segalanya masih bergantung pada orang tua.

Alhamdulillah.. Gara-gara Pegadaian-lah yang membuat saya bisa (mencoba dan tentunya akan terus berusaha agar) mandiri. Lamaran kerja yang saya kirim ke Balikpapan pada Ramadan tahun lalu, membuat saya terbang ke Surabaya lalu kemudian berada di Malang yang jika ditotal, 2 bulan lamanya. Setelah proses itu, kini, saya mengetik postingan ini, di sebuah kabupaten yang sama sekali tidak saya ketahui sebelumnya selain tentang mantan bupatinya tertangkap oleh KPK karena suap. Kabupaten yang sebelumnya sama sekali tidak saya ketahui dan mungkin juga tidak ada keinginan untuk diketahui. Kabupaten yang namanya saja sudah bisa dibayangkan di mana letaknya. Gunung Mas. Iya, letaknya kabupatennya di atas gunung dan penuh dengan tempat penambangan emas. Jika bukan karena saya mengirim surat lamaran di Ramadan tahun lalu, mungkin... ah, entahlah. Saya tidak tahu. Semua orang tidak tahu. Yang saya tahu, kini ceritanya adalah saya bekerja di sini dan saya diberi amanah untuk mengelola unit ini per satu Ramadan. Iya, mulai besok. Kaget? Sangat. Saya pribadi, entah teman-teman seangkatan dengan saya yang lain, kaget. Mengapa secepat ini diberi amanah. Namun di samping itu, tentu saya yakin, di balik kekagetan yang saya rasakan, terdapat kemampuan yang bisa saya salurkan untuk amanah ini. Tidak mungkin dan tidak akan mungkin, amanah yang diberikan tanpa dibarengi dengan kemampuan. Amanah ini saya yakini bukan saja pemberian dari pimpinan cabang, bukan saja dari deputy, bukan saja dari pimpinan wilayah, tetapi lebih besar dari itu, yaitu pemberian dari yang memberikan amanah kepada pimpinan cabang, yang memberikan amanah kepada deputy, yang memberikan amanah kepada pimpinan wilayah. Luar biasa, pemberian dan pemberi amanah ini.

Terakhir, alhamdulillah.. bulan Ramadan tahun ini, sudah ada yang sudi membukakan pintu yang sudah lama tertutup.

Masih ingin rasanya untuk melanjutkan kalimat-kalimat di postingan ini, namun jam dinding sudah menunjukan pukul 10.25 PM. Mata ini juga sudah mulai lelah. Maka, akan saya akhiri saja postingan ini, dengan kalimat..

Kita tidak akan selalu bertemu dengan bulan Ramadan pada setiap tahunnya. Seperti, Muhammad Ali. Beliau tidak bertemu dengan Ramadan tahun ini. Untuk itulah, manfaatkanlah bulan Ramadan ini untuk hal-hal kebaikan. Kalimat ini juga merupakan peringatan untuk saya pribadi, untuk selalu menjadi pribadi yang lebih yang baik. Karena, jika kita melakukan sesuatu di bulan Ramadan tahun ini, siapa tahu, di Ramadan tahun depan ada yang berbeda dengan Ramadan tahun ini, dan itu banyak.

Bismillah.. Beberapa jam lagi, sahur pertama di perantauan. Semangat!

Selasa, 24 Mei 2016

Bodoh

Terlintas, "apa kabar ya?". Pertanyaan yang seharusnya tidak akan terkeluar lagi. Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin ada yang menjawab, dari orang lain bahkan dari dari orangnya langsung.

Membicarakan

Beragam sifat yang dimiliki setiap individu manusia. Takkan sama. Satu diantaranya adalah, ada orang yang memiliki kecendrungan untuk selalu berbicara. Berbicara apapun. Termasuk membicarakan tentang orang lain. Insya Allah, saya tidak memiliki sifat yang seperti ini. Saya selalu berusaha untuk tidak membicarakan kepribadian orang lain.

Dan apakah saya memposting mengenai ini, juga termasuk membicarakan orang lain?

Rabu, 06 April 2016

Bisa tidak?

Sudah lama ya.. Saking lamanya, sudah malas menghitung seberapa lama. Coba tahun-tahun yang sudah lewat, masih sudi menghitung. Sekarang, ah, sudahlah, buat apa?

Untuk urusan hitung-menghitung, tak ada yang harus dipermasalahkan. Tapi untuk urusan memulai yang baru, masih tersisa.

Inipun, menulis tentang ini, jadi teringat lagi. Seharusnya, jangan. Menganggu.

Sudah ada yang bersedia jadi kuncinya tapi masih belum yakin kalau ternyata ada yang bersedia jadi kunci.

Ragu? Iya.

Bukan, ragu dengan yang bersedia, tapi ragu dengan diri sendiri. Bisa tidak supaya tak terulang lagi?

Minggu, 07 Februari 2016

Hapus

Biarkan saja dihapus. Jangan lagi mencoba untuk kembali. Semoga lebih baik.