Rabu, 24 April 2019

Tana Toraja, Makassar dan di Antaranya

Pronolog

Sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 13 Maret 2019, aku mengajukan cuti tahunan untuk tanggal 15, 16, dan 18 April 2019. Waktu pengajuan itu, aku masih belum memastikan, apakah akan travelling atau cuma sekedar istirahat di Banjarmasin. Pilihan yang sebenarnya tidak susah dijawab. Travelling yang artinya menjadi golongan putih yang nyata atau di Banjarmasin saja untuk mencoblos kedua pilihan presiden, atau mencoblos lebih dari satu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi maupun Kota. Keduanya sama, tapi dengan cara yang berbeda.

Tidak ada yang cocok untuk dipilih, lalu untuk apa wajib memilih?

Oke, mengenai ini tidak perlu diperpanjang. Pesta pemilihan itu juga sudah selesai.

Tentang cuti tadi. Setidaknya hingga awal bulan April, aku baru memastikan untuk membeli tiket pesawat. Pertimbanganku cukup sederhana sekali, yang penting untuk sekali jalan biayanya di bawah satu juta rupiah.

Lalu, pilihannya hanya ada, Surabaya dan Makassar.

Ke Surabaya? Mau sih, tapi ngapain ya? Sudah Pernah.

Oke, aku pilih ke Makassar.

Kemudian, ada pertanyaan lagi. Ke mana ya?

Di benakku cuma ada satu tempat.

Tana Toraja.

Daerah yang terkenal dengan adat istiadatnya, pikirku waktu itu. Hanya sekedar, tau nya tentang sekitaran prosesi pemakaman dan lokasi pemakamannya yang tidak lazim.

Sendirian?

Yeah, ini waktunya solo traveller.

Selama ini, tidak ada yang benar-benar sendirian. Selalu ada temannya. Entah itu bersama orang tua, teman, hingga benar-benar teman.

Alasan lainnya, tentang sejumlah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan sekian waktu yang seharusnya sudah dihilangkan.

Di tahun 2018, beragam cerita. Dari awal tahun, tentang kemampuan aku menjodohkan dua temanku. Lalu, mereka mencoba menjodohkan aku dengan dia. Dan di akhir tahun, dia menjodohkan dengan yang lain.

Ga beragam banget ya.. Hahaha

Malah seragam.

Tentang pasangan.

Tentang jodoh.

Bisa disebut secara kasar, kalau perjalanan ini tentang peralihan itu semua.

Mengalihkan itu semua ke hal yang lain. Setidaknya, mencoba.

Ketidakmampuan itu yang harus ku tuntaskan.

Peralihan ke hal yang lain, sudah diupayakan. Kembali ngelakuin hobi yang sudah lama tidak dilakuin, salah satunya.

Ketidakberhasilan mereka menjodokan aku dengan dia, dan malah dia yang "berhasil" menjodohkan aku dengan yang lain, membuat ada perasaan yang janggal.

Pembahasan ini akan panjang.

mereka yang anggap kami cocok, nyatanya tidak begitu.

Jak Koffie
Sulit mengatakan alasannya, tapi magnet itu tidak positif dan negatif. Tembok itu nyata adanya.

Sampai ke satu tahapan, dia mencoba memperkenalkan temannya.

Seperti kebanyakan orang, diperkenalkan ke seseorang tidak begitu saja langsung mengiyakan. Tidak langsung merasa klop. Berbulan-bulan sejak saling follow di instagram tapi belum ada kesempatan untuk saling tegur. Cukup saling tau saja, apa saja yang biasanya yang diposting.

Sampai akhirnya, tes CPNS yang membuka jalan itu.

Dia tes CPNS di kota ini.

Dan aku bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dan mengantarkan dia ke lokasi tes.

Random jika dibayangkan. Belum pernah ketemu sebelumnya, hanya sekedar berbalas DM di instagram, tapi pas ketemu, obrolan itu mengalir saja. Jika tulisan open di pintu masuk KFC waktu itu tidak dibalik, mungkin masih banyak paragraf-paragraf cerita yang disampaikan.

Malam itu diakhiri oleh hujan yang turun.

Lalu dilanjutkan, keesokanharinya, aku mengantarkan dia menuju lokasi tes.

Karena kesibukan, setelah dia tes, aku ga bisa mengantarkan dia kembali ke penginapan.

Pagi itu, pagi yang cukup aku ingat sampai sekarang.

Dia turun dari tangga, dengan baju putih rok panjang hitam jilbab hitam khas orang mau melamar pekerjaan. Membawa sari roti yang dia beli di alfamart kemarin malam. Di perjalanan, sambil makan rotinya. Menggunakan helm pinjaman dari temen.

Pagi yang penuh harapan. Harapan untuk masih bisa ketemu lagi.

Terwujud.

Di suatu hari, kami ketemu lagi di Banjarmasin.

Dan, ku berharap itu bukan yang terakhir.

Keinginanku masih ingin untuk bertemu lagi, memperbaiki sesuatu yang aku rusakkan kemarin.

Masih ingin berusaha.

Hingga ketikan ini.


Tana Toraja

Minggu sore, 14 April 2019.

Sesuai jadwal, jam 7 malam pesawatku mendarat di Makassar. tepat waktu. Tumben.

Kota yang belum pernah aku datangin. Sekilas mungkin sudah ada bayangannya, tapi tetap saja cerita selalu berbeda dengan yang dibayangkan.

Beberapa hari sebelumnya, aku sudah pesan bis menuju Tana Toraja, jam 9 malam. Malam itu juga.

Berdasarkan saran teman @putriii_santoso , maka menunggulah aku di Rumah Makan Minang. @putriii_santoso menjadi teman karena ada teman (atau tepatnya "pernah teman dekat") yang menyarankan untuk nanya-nanya mengenai Toraja ke dia. Dan cocok. Dia cukup mengenal daerah situ. Isi blognya cukup komunikatif dan jelas dari tempat-tempat yang harus dikunjungi hingga kebiasaan dan adat di sana. Terimakasih untuk penjelasan-penjelasan ke orang yang masih cupu dalam solo traveller ini.

Rumah Makan Putri Minang
Lokasi rumah makan ini persis depan jalan menuju Bandar Udara Sultan Hasannudin. Naik ojek bandara, sekitar 10-15 menit. Tapi karena kemarin, pakai ada acara ban bocor, jadinya sampai setenggah jam. Haha.

Ban Bocor

Rumah Makan Putri Minang layaknya salah satu tempat persinggahan bagi orang-orang yang mau naik bis malam menuju ke luar kota Makassar. Makanannya pun cukup enak dan murah.

Sekitar jam setengah 10, bisku datang.

Sesuai yang ku bayangkan, bisnya besar dan bagus sekali. Nyaman dan bersih. Sangat jauh jika dibandingkan dengan bis-bis yang ada di Banjarmasin.

Bis terbaik yang pernah aku tumpangin.

Double Decker Primadona
Pagi itu embun di Rantepao, Toraja Utara. Bergegas aku mencari masjid. Tidak lain dan tidak bukan, untuk membuang hajat yang sudah ditahan beberapa jam di dalam bis.

Masjid Agung Rantepao
Salah satu tujuan perjalanan aku itu mencari sebanyak yang ku mampu untuk ketemu masjid. Masjid Agung Rantepao ini termasuk masjid terbesar di sana.

Buang air kecil, lanjut buang air besar, kemudian ganti baju, mungkin sekitar 40 menitan, tukang ojek itu masih setia menunggu di depan masjid. Iya, pada saat masuk ke masjid ini, aku dihampiri tukang ojek untuk menawarkan jasa antarnya keliling kota atau sekedar menuju ke tempat yang diinginkan. Menghargai beliau, aku makai jasanya untuk mencari tempat penyewaan motor. Beberapa tempat penyewaan motor didatangin, tapi ujung-ujungnya ke penginapan Riana Homestay. Di sana, selain penginapan, juga menyediakan jasa sewa motor. Memilih ke sana, karena aku sudah pesan satu malam untuk menginap di sana. Yang pada akhirnya, aku tidak merasakan nginap satu malam di penginapan itu. Haha

Aku dapat motor beat untuk keliling kota selama dua hari. Biaya sewa motornya, per hari nya seratus ribu.

Sewa Motor Beat
Di sana, google maps berfungsi dengan baik. Peta sesuai. Tidak akan tersesat jika benar-benar mengikuti maps.

Tapi, aku, memang, kadang, tidak mau melihat maps. Untuk menemukan sesuatu yang tidak terduga. Baru setelah merasa tersesat, google maps diperlukan.

Rantepao
Lapar melanda. Dan malas mikir kemana. Ku coba ke tempat makan yang katanya langgganan @putriii_santoso.
Rumah Makan Barokah
Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi. Suasana embun masih ada. Aku mulai mencoba ke tempat-tempat yang bagi orang-orang kebanyakan adalah tempat wajib yang dikunjungi jika ke sana.

Ke'te Kesu'
Tempat yang paling dekat rumah makan barokah, adalah Ke'te Kesu'. Cukup memerlukan perjalanan sekitar 20 menit, sudah sampai ke tempat kampung adat ini. Sampai di sana, tidak banyak pengunjung. Jelas, karena aku datang di hari senin. Hanya satu atau dua rombongan yang ada saat itu. Di sini aku tidak terlalu berkeliling. Disayangkan sih. Tapi itu karena faktor tidak ada guide yang mendampingi. Berbedaan ke tempat berikutnya, Londa.

Londa
Tempat ini adalah alasan utama yang aku pikirkan ketika ke Tana Toraja. Harus ke sini. Tempat perkuburan adat orang Toraja, yang entah deh apakah di tempat lain ada juga atau tidak. Di sini, ada pemandunya untuk menjelaskan seluk beluknya tempat itu.

Tengkorak
Sebelum sampai ke tempat ini, aku belum pernah melihat tengkorak asli sedekat ini. Daya jelajah aku memang tidak atau belum sejauh mereka-mereka.


Londa
Beberapa Whatsapp masuk, menanyakan tentang pekerjaan yang aku tinggalkan. Untuk WA pribadi memang tidak ada matikan notifikasinya, tapi untuk grup, aku matikan semua. Tidak sedikit juga yang mencoba menelpon. Tapi ketenangan Londa tetap masih bisa aku nikmati. Tempat yang ramah mata, meneduhkan hati. Padahal, di depan adalah perkuburan. Tidak bedanya dengan tempat pemakaman lainnya.

Sekitar dua jam aku di sini. Satu jam diantaranya di gazebo yang disediakan.

lemo
Sama seperti Londa, Lemo juga adalah tempat perkuburan adat orang Toraja. Yang membedakan adalah di sini dengan di Londa, adalah di sini perkuburannya diletakkan dan diukir di tebing. Sedangkan di Londa, diletakkan di begitu saja di tebing tanpa diukir dan juga di dalam goa. CMIIW. Hehe.

Selain pemandangan perkuburan itu, pemandangan sawahnya juga menyehatkan mata.

Sawah

Gerimis mulai turun. Aku bergegas untuk menuju Buntu Burake.

Patung Yesus Memberkati
Di tempat ini, azan zhuhur terkumandang. Cukup jelas terdengar. Ini kah keberagaman yang diharapkan?

Patung Yesus Memberkati
Perjalanan siang itu akhirnya menemukan titik laparnya. Dari situ, lalu turun lagi ke Kota, Tepatnya Ke Makale, ibukota Tana Toraja untuk mencari tempat rumah makan.

Rumah Makan di Makale
Disarankan untuk cari tempatnya ada logo Halal. Karena katanya, yakin saja dengan logo halal yang ditampang. Kalau aku, mikirnya, carilah tempat makan yang berdekatan dengan masjid. Rumah makan ini persis di samping masjid di Makale. Sayangnya, aku ga sempat untuk memoto masjidnya.

Ada yang unik (bagiku), ada menu Soto Banjar di sini. Padahal, yang jual orang asli Toraja.

Hari mulai menuju senja. Aku harus ke Lolai, untuk nginap satu malam di sana. Lolai atau yang lebih dikenal "negeri di atas awan" adalah tempat yang selalu ditanyakan oleh driver ojek online ketika aku di Makassar di setiap kalimat "saya baru dari Toraja".

Tongkonan Lempe, Lolai

 Untuk sebuah kendaraan matic Beat yang ban belakangnya gundul, naik sampai ke sini cukup perjuangan untuk berhati-hati. Di sepanjang jalan, yang aku bayangkan bagaimana pas turunnya. Belokkannya sangat patah.

Dan, malam hari di situ, hujan deras. Malah, sempat aja mengetik untuk postingan ini.

Selasa, 16 April 2019. Sisa hujan malam tadi berefek dengan hawa yang sangat dingin di pagi ini.

Negeri di Atas Awan
Halo, aku sudah sampai sini. Aku tau, kamu juga suka travelling. Bukankah pekerjaan kamu sekarang juga bagian dari kesukaanmu itu. Cerita kamu tentang penginapan di Pontianak masih aku ingat. Malam tadi tidak seperti cerita kamu itu, syukurnya. Aku masih ingin dengar lagi cerita-cerita lainnya dari perjalanan kamu. Kapan? Aku masih bersedia meluangkan waktu. Tapi, sepertinya kamu sibuk, tidak ada waktu. Bahkan, sekedar buka media sosialmu lalu ke pengaturan untuk klik tombol unblock. Atau kalimat itu, sunguh benar? Selama ini aku menganggumu? Maafkan. Aku hanya ingin dilirik lagi. Seperti waktu itu, kamu mengomentari story ku yang gambar botol minuman. Kemudian dari situ menjalar ke lain. Sekarang kamu di mana? Sudah nonton Hotel Mumbai? Mau nanya soal Manchester United, tapi aku ga seupdate itu tentang bola. Green Tea Latte-nya Starbucks lagi yuk.

Di hari kedua di Tana Toraja, aku hanya fokus keliling Kota Rantepao. Rencana awal, sebenarnya mau hari rabu ke Makassar, tapi aku ubah jadwalnya. Aku pangkas waktu ku di Tana Toraja. Malam ini, aku naik bis untuk kembali ke Makassar.

Keliling kota dengan harapan ketemu barang yang bisa dibeli dan sebutlah itu oleh-oleh. Tetapi, aku tidak menemukan. Aku hanya beli Totebag dari Jak Koffie.

Tote bag

Padahal, aku sudah booking satu malam di Riana Homestay, jadinya cuma tempat persinggahan siang dan tempat mandi. Tidak sempat tidur di sana. Aku lebih milih tidur di bis primadona, menuju Makassar.

Bis Primadona
Untuk pulang, aku pilih kursi paling depan. Dan, ternyata lebih enak di paling depan ini daripada yang kemarin duduk di nomor 9. Ditambah lagi, di samping tidak ada penumpang lain.

Secara umum, aku sangat suka bis primadona ini. Kursinya empuk, ada bantal, selimut, kursinya bisa diatur agar menjadi posisi tidur, dan yang paling penting, pembawaannya supirnya yang sangat smooth, tidak ugal-ugalan. Ya jelas sih, bis sebesar itu, kalau ugal-ugalan, bisa dibayangkan akan lebih cepat, menuju jurang.

Makassar

Rabu 17 April 2019, tepat azan shubuh aku sampai di Terminal Daya, Maros. Pemilihan perbehentian di Terminal ini sebenarnya asal-asalan saja. Aku tidak ada pilihan untuk turun di mana. Biar gampang nyebutnya, jadinya aku minta turun di terminal saja.


Beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya. Tapi, karena aku orangnya sungguh milenial, aku lebih memilih ojek dengan aplikasi online. Pilihan menggunakan aplikasi ini agar biayanya jelas tidak terlalu tinggi tapi masih batas wajar.








Langsung menuju penginapan. Padahal masih jam 7 pagi.

Hotel Pesonna Makassar
Hotel ini persis bersebelahan dengan Kantor Cabang Pegadaian Makassar. Memilih Hotel Pesonna hanya karena ingin merasakan hotel milik anak perusahaan. Sebenarnya, beberapa di akhir tahun kemarin sudah merasakan hotelnya yang di Yogyakarta. Dan hasilnya, standarisasinya sama. Sama-sama berkonsep "hotel syariah" yang tidak ada embel-embel syariah di mana. Di hotel mana lagi ya, yang menyediakan Al Qur'an dan sajadah di dalam kamarnya?

Setelah mesan kamar, aku masih harus nunggu sampai jam 12 siang untuk check in. Untuk itu, aku milih bertitip tas dan ganti pakaian di toilet hotel.

Cream Soup KFC
Berlebihan atau gak ya, cream soup di KFC Sam Ratulangi adalah cream soup terenak di KFC yang pernah aku makan. Ayamnya juga ter-crispy. Tujuan kuliner banget. Wifi nya juga kenceng.

Pantai Losari
Dari KFC situ, aku buka maps, ternyata cuma sekitar 2 km menuju Pantai Losari. Aku pilih berjalan kaki. Setiap travelling seperti ini, berjalan kaki adalah prioritas. Kalau di Jakarta, dengan segala jenis trotoar yang sangat ramah pejalan kaki, aku pejalan kaki sejati.Turun Bus Transjakarta di halte Olimo untuk mencari nasi uduk yang terkenal di sana, kemudian berjalan kaki hingga Kota Tua. Biasa saja.

Di Makassar aku tidak terlalu banyak tempat yang aku kunjungi. 4 hari di sini, 4 kali masuk mall dengan 3 mall yang berbeda. Haha. Aku memilih ke tempat standar, ke Pantai Losari, Pantai Akkarena, Fort Rotterdam dan Bantimurang. Rasa memang ingin ke Samalona karena ada lagunya Rocket Rockers yang mencover lagunya Imanez, tentang Samalona. Tapi aku urungkan ke sana, karena, aku sadar, aku sendirian.

Bantimurung
Sore tadi ada teman yang nanya, "apa enaknya berangkat sendirian?" Aku jawab, "karena ingin tau rasanya, makanya berangkat sendirian. Ternyata, ga enak. Haha"

Aku memerlukan teman ngobrol di perjalanan. Cerita hulu ke hilir. Apapun.

Betapa romantisnya, aku ketemu sepasang suami isteri yang lebih tua daripada orang tua ku, couple travelling, di Bantimurung, hanya berdua saja. Seusia mereka, masih bisa menyempatkan waktu untuk liburan. Sang suami sangat bersemangat memoto isteri di sudut-sudut yang bagus dijadikan background foto. Pacaran di usia tua mengalahkan segalanya.

Relationship Goal
Dari cerita yang mereka utarakan, mereka sudah biasa perjalanan berdua. Paling bersemangat, yang isteri bercerita tentang mereka liburan di Bunaken. Membahagiakan.

Sebuah hubungan, aku berkeyakinan, mempunyai banyak kesamaan akan lebih baik. Sama-sama suka perjalanan, sama-sama saling mengerti, sama-sama saling memiliki. Sepasang pasangan yang ku temui siang itu, sudah panjang perjalanannya. Beragam kisah. Aku, tidak seberapa.

Pantai Akkarena
Epilog

Ada penyesalan berangkat sendirian sejauh itu?

Dusta, jika aku bilang lebih enak berangkat sendirian sedangkan sebenarnya aku memerlukan teman bicara. Tapi aku tidak menyesal. Aku memerlukan proses perjalanan sendirian ini. Keperluan masing-masing berbeda. Tahapan perjalanan sendirian ini aku perlukan untuk introspeksi ke diri sendiri, apa nih yang seharusnya dikerjakan, apa yang harusnya diabaikan.

Ketemu?

Yang mau dikerjakan sudah tau, yang seharusnya diabaikan sudah mengerti. Tapi, masih terpatri jika itu akan rumit dilaksanakan.

Ini tentang doktrin. Jika di awal sudah diucapkan tidak mudah, tidak gampang, susah, sulit, maka akan nempel begitu terus.

Paragraf-paragraf di atas, bermuara tentang kamu. Atau karena perjalanan ini masih kurang jauh, ya?

Bgzt.

Aku berharap perjalanan kemarin bisa membuat aku merelakan. Tapi, sekarang aku masih ada ingin berjuang.

Terlalu bucin jika aku bilang "perjuangan ini akan selalu aku perjuangan hingga kamu menolehkan kembali ke aku, untuk kembali".

Fak.

Ini postingan terakhir, tentang kamu.

Kesimpulan yang sebenarnya aku sudah tidak tau lagi, bagaimana kalimat lengkapnya.

Terimakasih, Mey di bulan April yang berulangtahun bulan Desember. Ada semangat yang lahir dari penutupan jalan yang kamu bikin untuk membuat ku berjalan sejauh Makassar dan Tana Toraja, sendirian.




























Senin, 15 April 2019

Blokir

15April 2019. Hujan deras di Tongkonan Lempe, Lolai.

Agar tulisan ini terbaca lebih indie, telinga disumpalin spotify, Fiersa Besari - April.

Seperti potongan liriknya..
"sungguh aku rindu berbagi tawa, kini kita tidak lagi menyapa"

Budak cinta.

Haha.

Ku meyakini, di antara kita ada kesalahpahaman yang seharusnya bisa diperbaiki.

Tapi kamu tutup proses itu.

Kamu blokir semua cara untuk ku perbaiki. Kenapa?