Timeline di Twitter aku memang sekarang lebih adem dan damai tanpa tweet-tweet dari kamu. Tapi, tetap, masih sulit untuk melupakanmu.
Bagaimana bisa melupakanmu, jika ke suatu tempat teringat, aku teringat kamu. Seperti, jumat malam kemarin. Pas menonton bareng pertandingan Arema Cronus melawan Barito Putera di Gor Hasanuddin. Siapa yang menang? Ga perlu dibahas. intinya, di sana, penuh dengan orang-orang yang merokok. Lalu disaat itupula aku ingat denganmu. Aku ingat perkataanmu disaat kamu tidak menonton Sheila On 7, yang padahal tempatnya dikampus kamu. Alasannya cuma sederhana, katamu "aku tidak nonton, karena ga tahan dengan asap rokok". Memang situasinya, beda waktu, beda tempat dan beda keadaan. Tapi ada kesamaan. Sama-sama berada dalam satu waktu, satu tempat dan satu keadaan yang dimana orang-orang banyak yang merokok.
Masih tentang rokok. Di kampus, ah, kamu pasti tahu siapa yang aku maksud siapa. Iya, orang itu. Entahlah, aku tidak tahu apakah kamu masih berhubungan dengan dia atau sudah selesai. Aku mencoba untuk tidak peduli tentang hubungan kalian. Yang aku pedulikan, ketidaksukaan kamu dengan asap rokok itu tadi. Aku tahu, kamu tahu, dia perokok. Bukan maksud apa-apa, aku menulis tentang ini. Hanya secercah harapan, agar dia mau berhenti merokok. Klise, dia bisa berhenti merokok karena kamu. Aku berharap begitu.
Orang itu, lelaki itu, aku akan selalu bertemu dengannya jika berada di kampus. Terlebih lagi, jika sedang kuliah. Terutama, semester ini. Kembali, aku mencoba untuk tidak peduli tentang hubungan kalian. Tapi apa daya. Semenjak hari itu, hari di mana kamu mengembalikan novel 5 cm. Aku berjalan dari arah masjid, ternyata kamu sedang bersamanya. Jujur, saat itu sakit. Sakit itu terakumulasi terus-menerus, jika aku melihat dia, bertemu dia. Yang seperti ini, apa namanya? Belum bisa move on? Bisa jadi. Apapun namanya, aku hanya ingin jujur melalui tulisan ini.
Melupakanmu, perlu proses, perlu waktu, perlu upaya yang keras untuk bisa. Di Twitter, kita tidak saling follow lagi. Di Instagram, juga. Di BBM, aku sudah hapus contact kita. Jam tangan pemberianmu, sudah ada penggantinya. Kini, jam tangan itu di dalam kotak jam tangan. Tapi, sepertinya, belum cukup. Gantungan kunci pemberianmu, masih aku pakai. Kemanapun, jika aku bersepeda, gantungan kunci itu selalu menemani. Surat-surat itu, foto-foto itu, semua yang kamu beri pas ulang tahunku, 3 tahun yang lalu, masih ada. Terpikir untuk membuang semuanya, tapi kemudian selalu terpikir untuk disimpan saja. No HP, masih no HP dar pemberianmu. Alamat email aku juga masih berhubungan kita dulu. Jika kamu ingat, nama panggilan aku ke kamu dan kamu ke aku, itulah alamat email nya. Pengen sih mengubah, tapi belum bisa. Selain itu, tanda tangan aku ada unsur kamu. Untuk tanda tangan, kayanya ga bakalan diganti. Tapi untuk benda-benda pemberian darimu dan alamat email itu tadi, masih ada kemungkinan untuk disingkirkan.
Tekadku sekarang, berjalan terus ke depan. Yang ku tuju, ke depan. Sesekali, mungkin juga harus menegok ke belakang, namun, tetap, yang ku tuju, ke depan. Sulit memang. Tapi harus ku jalani.
Bagaimana bisa melupakanmu, jika ke suatu tempat teringat, aku teringat kamu. Seperti, jumat malam kemarin. Pas menonton bareng pertandingan Arema Cronus melawan Barito Putera di Gor Hasanuddin. Siapa yang menang? Ga perlu dibahas. intinya, di sana, penuh dengan orang-orang yang merokok. Lalu disaat itupula aku ingat denganmu. Aku ingat perkataanmu disaat kamu tidak menonton Sheila On 7, yang padahal tempatnya dikampus kamu. Alasannya cuma sederhana, katamu "aku tidak nonton, karena ga tahan dengan asap rokok". Memang situasinya, beda waktu, beda tempat dan beda keadaan. Tapi ada kesamaan. Sama-sama berada dalam satu waktu, satu tempat dan satu keadaan yang dimana orang-orang banyak yang merokok.
Masih tentang rokok. Di kampus, ah, kamu pasti tahu siapa yang aku maksud siapa. Iya, orang itu. Entahlah, aku tidak tahu apakah kamu masih berhubungan dengan dia atau sudah selesai. Aku mencoba untuk tidak peduli tentang hubungan kalian. Yang aku pedulikan, ketidaksukaan kamu dengan asap rokok itu tadi. Aku tahu, kamu tahu, dia perokok. Bukan maksud apa-apa, aku menulis tentang ini. Hanya secercah harapan, agar dia mau berhenti merokok. Klise, dia bisa berhenti merokok karena kamu. Aku berharap begitu.
Orang itu, lelaki itu, aku akan selalu bertemu dengannya jika berada di kampus. Terlebih lagi, jika sedang kuliah. Terutama, semester ini. Kembali, aku mencoba untuk tidak peduli tentang hubungan kalian. Tapi apa daya. Semenjak hari itu, hari di mana kamu mengembalikan novel 5 cm. Aku berjalan dari arah masjid, ternyata kamu sedang bersamanya. Jujur, saat itu sakit. Sakit itu terakumulasi terus-menerus, jika aku melihat dia, bertemu dia. Yang seperti ini, apa namanya? Belum bisa move on? Bisa jadi. Apapun namanya, aku hanya ingin jujur melalui tulisan ini.
Melupakanmu, perlu proses, perlu waktu, perlu upaya yang keras untuk bisa. Di Twitter, kita tidak saling follow lagi. Di Instagram, juga. Di BBM, aku sudah hapus contact kita. Jam tangan pemberianmu, sudah ada penggantinya. Kini, jam tangan itu di dalam kotak jam tangan. Tapi, sepertinya, belum cukup. Gantungan kunci pemberianmu, masih aku pakai. Kemanapun, jika aku bersepeda, gantungan kunci itu selalu menemani. Surat-surat itu, foto-foto itu, semua yang kamu beri pas ulang tahunku, 3 tahun yang lalu, masih ada. Terpikir untuk membuang semuanya, tapi kemudian selalu terpikir untuk disimpan saja. No HP, masih no HP dar pemberianmu. Alamat email aku juga masih berhubungan kita dulu. Jika kamu ingat, nama panggilan aku ke kamu dan kamu ke aku, itulah alamat email nya. Pengen sih mengubah, tapi belum bisa. Selain itu, tanda tangan aku ada unsur kamu. Untuk tanda tangan, kayanya ga bakalan diganti. Tapi untuk benda-benda pemberian darimu dan alamat email itu tadi, masih ada kemungkinan untuk disingkirkan.
Tekadku sekarang, berjalan terus ke depan. Yang ku tuju, ke depan. Sesekali, mungkin juga harus menegok ke belakang, namun, tetap, yang ku tuju, ke depan. Sulit memang. Tapi harus ku jalani.