Jumat, 14 Desember 2012

Bersepeda ke Kampus, Kenapa Tidak?

Judul di atas mungkin bagi sebagian besar mahasiswa maupun mahasiswi menganggap pertanyaan yang sederhana dan cenderung ke arah tidak penting. Yap, pada zaman sekarang ini siapa sih yang mau meninggalkan kendaraan pribadi (motor ataupun mobil) dia untuk beralih mengendarai sepeda untuk kesehariannya, terutama berangkat menuju kampus? Tidak banyak. Malah bisa dikatakan sangat sedikit. Kita dapat lihat sendiri, seberapa banyak mahasiswa/i yang gowes ke kampus. Jika dibandingkan dengan pengendara motor dan mobil, yang bersepeda ke kampus dapat dihitung dengan jari tangan. Lalu, mengapa bersepeda ke kampus penting untuk dibahas? 

Banyak alasan yang mendasari mengapa harus beralih dari alat transportasi bermesin ke alat transportasi bertenaga pribadi. Pemanasan global, persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sering terjadi kelangkaan, kemacetan di jalan raya dan kesehatan jasmani adalah jawaban umum dari pertanyaan tadi. Bersepeda mungkin hal yang dianggap sederhana, namun mempunyai dampak yang baik bagi bumi yang kita tempati ini, orang lain, hingga pesepeda itu sendiri. Akan tetapi, sepertinya masih banyak yang belum (dan tidak mau) menyadari hal tersebut. 

Sudah saatnya memang, untuk menggunakan alat transportasi alternatif. Terutama di Banjarmasin. Tentu, kita sependapat jalan-jalan di Banjarmasin semakin padat dengan motor dan mobil-mobil mewah. Tidak salah. Itu adalah hak mereka. Tapi tidakkah kita juga harus memperhatikan hak-hak orang lain? 

Kemudahan untuk memiliki kendaraan pribadi adalah salah satu penyebabnya. Setiap orang bebas memiliki berapapun jumlah kendaraan yang bisa dia miliki. Hampir bisa dipastikan, setiap satu rumah mempunyai setidaknya satu kendaraan bermotor. 

Tingkat perekonimian yang kian membaik dan kebutuhan yang terus meningkat, mendorong seseorang untuk membeli dan memiliki kendaraan pribadi. Sebagai contoh adalah maraknya mobil-mobil yang dijadikan sebagai alat latihan mengendarai bagi yang baru mau belajar mengendarai mobil. Logikanya, orang-orang yang belajar tersebut pastinya akan menyemarakkan jalan-jalan di Banjarmasin yang sekarang saja sudah sering terjadi kemacetan. Pasti kita tidak mau melihat Banjarmasin menjadi Jakarta-nya di pulau Kalimantan. Kan? 

Dari segi permasalahan kemacetan, Pemerintah Kota Banjarmasin berencana akan membuatkan jalan layang di jalan A Yani km 3,5 untuk memecah kemacetan yang sering terjadi di daerah tersebut. Namun di sisi lain, Pemko tidak memperhatikan hak-hak pengguna jalan yang lain. Semisal, pejalan kaki dan pesepeda. Terkesan, Pemko hanya “memanjakan” para penghasil pendapatan daerah tersebut.

Padahal, jelas pada pasal 62 ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, berbunyi “Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda”. Di pasal 25 ayat (1) huruf (g) juga memberikan penjelaskan, bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat. Nampaknya, kedua pasal tadi belum dijalankan dan dilaksanakan di kota Banjarmasin. Sulitkah?  

Jika dibandingkan dengan biaya jalan layang yang menghabiskan ratusan milyar rupiah uang rakyat, memperbaiki dan membangun trotoar yang layak untuk pejalan kaki dan memberikan lajur khusus pesepeda, pastinya biayanya jauh lebih kecil. 

Kemudian muncul kembali pertanyaan, mengapa mahasiswa harus bersepeda ke kampus? Padahal kan mengendarai kendaraan bermotor tidak salah, tidak melanggar peraturan? Jawabannya, sederhana saja, karena kita berstatus mahasiswa. Seorang mahasiswa seharusnya mempunyai pemikiran ke depan. Mengendarai kendaraan bermotor ke kampus memang tidak salah, namun jika Anda memiliki sepeda dan Anda mampu mengayuh sepedamu, mengapa tidak digunakan saja? Bukankah percuma, mempunyai sepeda (mahal) namun hanya digunakan pada saat night ride ataupun disaat car free day. Benar kan? 

“rumah saya jauh dari kampus, gimana dong?.” Niat. Ya, yang terpenting adalah niat. Semua kegiatan itu pastinya berawal dari niat. Jika niat itu ada, mau jarak rumah jauh, hujan, sesampainya di kampus berkeringat atau dikatain orang lain kalau bersepeda ke kampus itu aneh dan memalukan, tidak menjadi sebuah masalah. Memang, sebuah kegiatan itu pastinya mempunyai hambatan-hambatan. Dan jika mampu melawan zona aman, maka hambatan tadi akan hilang. 

Ada lagi, “saya anak kos. Keuangannya terbatas. Lagipula, saya bukan orang Banjarmasin. Saya perantau. Tidak punya sepeda. Lebih baik mengendarai motor, lebih cepat. Lebih baik mengendarai mobil, tidak kepanasan dan kehujanan.”  Mampu membeli motor, mampu membeli mobil, kok tidak mampu membeli sepeda? Murah, hemat, menyehatkan dan menyenangkan itulah yang dirasakan jika kita bersepeda. Selain itu, menuju sebuah tempat tidaklah harus cepat, yang terpenting selamat. Dan jika mengendarai mobil, memang kita tidak kepanasan dan tidak kehujanan, tetapi membuat jalan raya semakin padat dan kemacetan pun akan terus terjadi. Mau seperti itu? 

Mari berandai-andai, jika setengah dari total jumlah mahasiswa/i dalam suatu kampus, mereka memilih bersepeda, indahnya kampus tersebut. Polusi udara dan polusi suara berkurang. Mengurangi pemakaian BBM dan kemungkinan BBM bersubsidi akan lebih tepat sasaran. Memang, penyelewengan BBM bersubsidi itu akan terus ada. Akan tetapi, jika kita bersepeda, kita tidak ikut-ikutan menyalahgunakan BBM bersubsidi. Selain itu, membuat mahasiswa/i lebih rajin ke kampus dan tentunya membuat mereka lebih sehat. 

Setelah para mahasiswa bersepeda ke kampus, seharusnya kampus mampu menyediakan kebutuhan para pegowes ini. Minimal, tempat parkir khusus sepeda. Memang, hal ini juga harus didukung dari semua pihak. Sulit, tapi pasti bisa! 

Pada akhirnya, perubahan besar itu berawal dari hal yang kecil. Jadi, bersediakah Anda ikutserta dalam perubahan besar dari kegiatan yang cukup sederhana, dengan cara bersepeda ke kampus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ada yang perlu dikomentari, komentarin aja. :)